Turiyah dan Mbah Menik Tak Berdaya Melawan Buldozer
PASRAH: Turiyah dan Mbah Menik (bercaping) hanya bisa menangis menyaksikan tanahnya dibuldozer, kemarin. |
UNGARAN-Tangis Turiyah (60) dan mBah Menik (65) langsung pecah melihat tiga alat berat menjamah tanah mereka. Jalannya eksekusi dari dua wanita renta itu bukanlah tandingan alat berat. Keduanya harus mengalah saat para polwan memapah keluar dari lokasi eksekusi, Kamis (29/11).
"Tanah saya belum dibayar kok sudah dibuldozer. Tanah itu pusaka saya saatu-satunya. Tempat saya menggantungkan hidup selama ini," isak Turiyah sambil membetulkan letak caping yang menutup rambut putihnya.
"Kenapa kebun saya dirampas. Apakah petugas itu tidak merasa kasihan pada orang miskin sepeerti saya ini," tangis Mbah Menik yang duduk tak jauh dari Turiyah.
Kedua wanita sepuh ini tak bisa menghentikan tangisnya. Keduanya terus meratap dan sesekali berpelukan sambil mengucap takbir, di tengah angkuhnya suara alat berat.
Kepada Harsem, Mbah Menik menuturkan, tanah miliknya seluas 1.500 meter persegi itu dibeli orangtuanya sejak tahun 1955 dengan harga Rp 150. Itu sebelum Pemerintah RI mengeluarkan kebijakan sanering, yakni memotong mata uang rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.
"Tanah itu diwariskan oleh orangtua semenjak saya menikah. Selama itu pula tanah warisan itu menjadi tumpuan penghidupan keluarga," ucap Mbah Menik.
Tanah Pusaka
"Saya rugi kalau sekarang hanya akan dibayar Rp 65.000 per meter persegi. Uangnya tidak mungkin bisa saya gunakan untuk membeli tanah yang luasnya sama dengan kebun itu," imbuh dia sambil mengusap matanya.
Menurut mBah Menik, semenjak pemerintah melakukan pengukuran tanah tiga tahun silam. Dirinya tak bisa lagi bercocok tanah, karena khawatir akan digusur. selama itu pula ia hanya membayar pajak sebesar Rp 350.000 pertahun.
"Padahal untuk membayar pajak itu saya mengumpulkan uang dari menjual daun pisang dan kayu yang ada di kebun. Tapi akhirnya justru begini, sudah rugi masih digusur juga," keluh dia.
Seolah ingin melepas gundahnya, Turiyah pun menuturkan asal muasal tanah seluas 2.370 meter persegi miliknya. Baginya, tanah itu bukan sekedar pusaka penghidupan keluarga, tapi juga bukti ikatan cinta dirinya dengan Sarji (68), sang suami.
"Tanah itu saya beli bersama suami saat baru melahirkan anak pertama. Waktu itu harganya senilai 10 ekor sapi," ucap Turiyah yang mengaku lupa nilai nominal rupiahnya.
Biasanya, lanjut dia, lahan itu ditanami jagung, singkong dan kacang. Hasilnya setiap tahun mampu terkumpul sekitar Rp 7.500.000.
"Tapi sejak tiga tahun lalu kebun saya tidak bisa ditanami. Karena bagian tengah seluas 990 meter persegi terkena jalan tol. Sementara bayar pajaknya setiap tahun Rp 500.000 jalan terus. Itu pun dibantu anak-anak," keluh Turiyah yang tinggal di RT 7 RW 5 Desa Lemahireng Krajan bersama 4 anak 5 cucu dan 1 cicit.
"Sekarang saya hanya bisa menangis pasrah melihat tanah yang sudah digusur tapi belum dibayar. Semoga pemerintah menaikkan harga ganti rugi kebun, dan Gusti Kang Moho Agung mengampuni orang-orang yang menggusur tanah saya," ucapnya dengan suara parau. (ino/nji)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.