Petani Garam Tak Berdaya
Lahan garam di Demak. Harga garam rawan anjlok, karena tak ada penanganan serius dari pemerintah. HARSEM/DOK |
DEMAK-Menyusul tidak adanya penanganan serius dari pemerintah, harga garam lokal rawan anjlok. Fluktuasi harga didominasi oleh kekompakan para penebas yang akanmembeli garam rakyat. Sementara petani garam tak mampu berbuat apa-apa.
Kondisi pasar garam rakyat semakin melesu. Kendati bulan Februari bukan termasuk musim panen, namun harga garam di pasaran terus saja menurun, dari kisaran Rp 325 per kg menurun menjadi Rp 300 per kg, dan terakhir seharga Rp 250 per kg.
“Mau bagaimana harga garam turun,” ungkap petani garam asal Desa Kedungkarang Kecamatan Wedung, Ali Rois. Kebanyakan petani garam tak berdaya, tambahnya, akibat kesulitan perekonomian petani terpaksa melepas garamnya yang dihargai murah.
Muncul isu menurunnya garam lokal, akibat beralihnya fungsi garam impor dijual untuk konsumsi. Menurut Sekretaris Dinas Perikanan dan Kelautan (Dinlutkan) Demak Heru Budiono, persoalan harga garam lokal semakin menurun, akibat kelemahan sistem manajemen penjualan di petani.
Pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September 2013, petani garam di enam desa pada Kecamatan Wedung, yaitu Desa Kedungkarang, Kedungmutih, Tedunan, Kendalasem, Babalan, dan Berahan Wetan sudah berhasil memproduksi 74.867,088 ton garam krosok. Di masa panen itu petani sudah berusaha menyimpan stok garam dengan harapan saat garam menjadi langka, harga bisa naik.
“Kenyataannya upaya itu gagal, harga garam berangsur terus menurun,” kata Heru. Bila dikatakan hal ini murni kesalahan pemerintah, sepertinya kurang bijak, sebab pemerintah telah menurunkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang sudah disahkan, yaitu HPP garam KW 1 seharga Rp 750 per kg dan KW 2 seharga Rp 550 per kg.
Dan pemerintah sudah melarang masuknya garam impor selama 4 bulan setelah masa panen garam. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk menghindarkan kacaunya harga garam lokal. Lanjut Heru, tapi persoalan di lapangan berbeda, masih banyak penebas yang membeli garam rakyat tidak menggunakan alur KW (kualitas), mereka menyamakan harga seluruh kualitas garam berdasarkan patokan harga menurut keputusan komunitas penebas.
Padahal garam Demak sangat bagus, mampu menembus pasaran di daerah Rembang, Pati, Ceribon, Solo, dan ada yang diambil oleh Madura, kemungkinan harga lebih murah tersebut. Kelebihan garam Demak, mampu menjadi keras, ketika melalui proses cetak.
Dan menyusul rencana program swasembada garam 2013, Heru berharap perlu ada perhatian serius atas masalah harga, dengan menata jalur pemasaran, jangan sampai pemasaran dilepas dan diserahkan nasibnya kepada pasar. Kebiasaan petani menjual ke tengkulak, selalu menerima bahasa mau jual atau tidak, sementara kondisi perekonomian petani sangat kurang, bila tidak jual maka tidak makan.
Seterusnya muncul ketegasan dari pemerintah pusat, untuk menolak garam impor, karena garam rakyat sudah cukup untuk kebutuhan komsumsi dan produksi. Selanjutnya, Demak juga berupaya memperbaiki sarana produksi garam, meliputi normalisasi saluran garam, membuat terminal garam karena sudah ada embrio industri dan penampungan garam.
Rencananya Dinlutkan melalui anggaran DAK senilai Rp 250 juta, akan membangun sarana penampungan sementara untuk menjual, seperti pusat pasar garam. Serta, diharapkan adanya menu penyimpanan garam pada Resi Gudang yang ada di Demak meliputi gudang di Desa Mulyorejo Kecamatan Demak dan di Desa/Kecamatan Dempet, sehingga perlindungan harga garam riil dilakukan oleh pemerintah. (swi/tab)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.