Berita

[Berita][bleft]

Artikel

[Ekonomi][twocolumns]

Penyesalan Seorang Ibu

Dua puluh tahun lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh.

Sam, suamiku, memberinya nama Eman. Semakin lama semakin tampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu.

Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eman dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik. Saya menamainya Harmoni. Saya sangat menyayangi Harmoni, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eman. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Harmoni 2 tahun Sam meninggal dunia. Eman sudah berumur 4 tahun kala itu.

Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan utang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Harmoni. Eman yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Husin, seorang pria dewasa. Usia pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Husin, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Harmoni telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eman dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, “Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mama!”

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,
“Tunggu! Sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Eman, Tante.”

“Eman? Eman … Ya Tuhan! Kau benar-benar Eman?”
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja. Ya, saya harus mati! Ketika tinggal seinci jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eman melintas kembali. Ya Eman, Mama akan menjemputmu …

Sore itu saya memarkir mobil di samping sebuah gubuk, dan Husin dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mira, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Oh, Husin, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak.

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Husin dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya. Saya meninggalkan Eman di sana 10 tahun yang lalu.

Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali. Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.

Namun saya tidak menemukan siapapun di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama. Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eman sehari-harinya.

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu. Airmata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Husin mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

“Hei! Siapa kamu? Mau apa kau kemari?”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eman yang dulu tinggal di sini?”

Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eman terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mama, mama!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eman meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu …”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu. “Mama, mengapa Mama tidak pernah kembali lagi? Mama marah sama Eman, ya? Ma, biarlah Eman yang pergi saja, tapi Mama harus berjanji kalau Mama tidak akan marah lagi sama Eman. Selamat tinggal, Mama.”

Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan!” Husin memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eman telah meninggal. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila mama-nya datang, mamanya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana. Ia hanya berharap dapat melihat mamanya dari belakang gubuk ini. Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana ...”

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.


Desakundi

[Desakundi][threecolumns]

Pendidikan

[Pendidikan][list]

Ekonomi

[Ekonomi][grids]

Politik

[Politik][bsummary]

Oase

[Oase][threecolumns]
Create gif animations. Loogix.com. Animated avatars. Animated avatar. Motley Animated avatar. Gif animator. Animated avatar. Gif animator. Zoom Gif animator. Motley Create gif animations. Zoom Animated avatar. Movie Create gif animations. Gif animator. Zoom Animated avatar. Loogix.com. Animated avatars. Negative Animated avatar. Zoom Rumah Zakat Animated avatar. Negative Babyface, Harian Semarang liquid executive club, tonitok rendezvous