Langgar Kuno Kampung Gandekan, Andalkan Swadaya Masyarakat untuk Biaya Perawatan
KUNO: Langgar atau Musholla Al Yahya yang merupakan langgar kuno di Kampung Gandekan yang masih terjaga keasliannya. (Foto: Harsem/Lissa Febrina) |
SETIAP kota pasti memiliki bangunan kuno atau bersejarah. Begitu juga dengan Kota Semarang. Sebut saja kawasan Pecinan, salah satu kawasan yang kaya dengan bangunan kuno dan bersejarah.
Salah satu bangunan kuno yang masih berdiri kokoh hingga saat ini adalah Langgar Gandekan, atau sekarang bernama Musholla Al Yahya yang berada di Jalan Gandekan RT 01/RW 07 No 15.
Langgar kuno ini dibangun tahun 1815, sebelum Perang Diponegoro, oleh Tasripin, orang kaya Semarang pada masa itu. Langgar berada di dalam kampung yang tenang.
Dari luar, arsitektur bangunannya cukup unik, dengan beberapa hiasan kaligrafi di sejumlah sudut langgar, yang kebanyakan terbuat dari kayu jati, seperti lantai, jendela dan pintu. Pada kusen pintu dan jendela terlihat detail kerentaan langgar yang juga memiliki nama Al Yahya.
Tak hanya itu, ornamen-ornamen lainnya pun sengaja dipertahankan oleh pengurus langgar. Kubah yang berbentuk bunga masih tampak di atap. Lalu di dinding atas ruang imam tampak sebuah kaligrafi yang bertulis Allah dan Muhammad.
Sementara itu di keliling plafon terlukis pula kaligrafi yang bertuliskan Laila Haillallah Muhammadurrasulullah. “Kayu yang digunakan untuk membangun langgar ini dulu adalah kayu jati, semuanya dari jati,” ujar Solihin (57), yang merupakan keturunan kedua yang mengurus Langgar Al Yahya.
Menurut Solihin, kaligrafi di plafon itu dilukis dengan bahan malam yang biasa untuk membatik. Kendati sudah tua, namun sesuai amanah pendahulu-pendahulu yang telah mewakafkannya, langgar tidak dipugar total, hanya mengalami renovasi di bagian-bagian yang rusak saja.
“Seperti diding dalam diberi keramik, karena diding lamanya merembes dan dinding di luar juga kita benahi. Dulu ini seperti rumah panggung tapi bawahnya kita tutup agar terlihat lebih bersih dan indah,” ujar Solihin.
Langgar berukuran kurang lebih 4x8 meter yang merupakan peninggalan Tasripin, sudah dijadikan cagar budaya Semarang. Selain itu ada juga sebuah tangga kuno yang menghubungkan ruang utama langgar dengan bagian atas plafon.
“Dan di sini juga ada kentongan setinggi kurang lebih satu setengah meter untuk memberikan tanda pada masyarakat kalau sudah masuk waktu sholat. Untuk ibadah lima waktu langgar ini masih digunakan masyarakat, begitu juga saat taraweh,” ujarnya.
Ditambahkan Siti Ramlah, istri Solihin yang sehari-hari membersihkan langgar, tahun 2002 lalu, Walikota Sukawi Sutarip pernah berkunjung ke langgar. Beliau juga berpesan agar langgar ini tidak diubah. “Pak Sukawi pesannya begitu, jangan dirubah bangunannya,” ujar Siti Romlah.
Banyaknya biasa yang digunakan untuk merawat bangunan kuno ini, pengurus mengandalkan swadaya masyarakat sekitar. “Beberapa waktu lalu Gubernur Jateng memberikan bantuan tempat wudlu dan atap agar tidak kepanasan atau kehujanan saat wudlu. Selain itu pengurus juga sudah melakukan pergantian genteng,” ujarnya.
Kendati tak seramai dulu, tapi langgar kuno ini masih mendapatkan perhatian dari warga sekitar, bahkan mahasiswa kampus yang ada Semarang sering berkunjung. “Langgar ini juga pernah dikunjungi oleh orang Belanda,” kata Siti bangga.
Jika dulu langgar sering digunakan untuk acara pernikahan dan tradisi iring-iringan hingga ke kauman, sekarang sudah tidak lagi. “Namun yang penting kami yang di sini terus menjaga keaslian bangunan langgar kuno ini, terus merawat dan melestarikannya,” tandas Siti. (lif/12)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.