Aku Tak Pernah Benar-benar Mencintainya
Meski menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku pada pria itu.
Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Tapi kulakukan itu karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya, tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayanginya karena menurut mereka suamiku adalah suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai istri. Di rumah, akulah ratunya. Tak ada seorangpun berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku.
Tadinya aku memilih tidak punya anak. Meski tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan aku pun ber-KB dengan pil. Tapi suatu hari aku lupa minum pil KB sehingga hamil. Celakanya, dokter pun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar. Aku memaksanya melakukan vasektomi agar aku tidak hamil lagi setelah anak kami lahir. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang kedelapan. Hari itu, ia mengingatkan bahwa ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya mengangguk. Yah, karena merasa terjebak dalam situasi penuh kebencian, aku juga membenci orangtuku.
Sebelum ke kantor, biasanya ia mencium pipiku saja, tapi kali ini ia juga memeluk. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika dia dalam perjalanan ke kantor, aku memutuskan ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Lalu tiba waktunya aku harus membayar. Namun dompetku tertinggal di rumah. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
Dan inilah jawabannya, “Maaf sayang, kemarin Farhan minta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu. Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan.
Aku marah besar. Aku mengomelinya. Kututup telepon dengan kasar. Tak lama, ponselku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi?”
“Sayang, aku pulang sekarang. Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, khawatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salon dan tanpa menunggu jawabannya, aku kembali menutup telepon.
Hujan turun deras. Aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tapi tak ada jawaban meski sudah berkali-kali kutelepon. Aku mulai marah lagi.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing di ujung telepon. “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri bapak Armandi?”
Lelaki asing itu ternyata polisi. Ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Aku terdiam. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit.
Aku hanya diam seribu basa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar, seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu … (Dikisahkan oleh Laela – bukan nama sebenarnya – di Jalan Gajah Semarang yang dituang ke dalam tulisan oleh Abdul Mughis)
Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Tapi kulakukan itu karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya, tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayanginya karena menurut mereka suamiku adalah suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai istri. Di rumah, akulah ratunya. Tak ada seorangpun berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku.
Tadinya aku memilih tidak punya anak. Meski tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan aku pun ber-KB dengan pil. Tapi suatu hari aku lupa minum pil KB sehingga hamil. Celakanya, dokter pun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar. Aku memaksanya melakukan vasektomi agar aku tidak hamil lagi setelah anak kami lahir. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang kedelapan. Hari itu, ia mengingatkan bahwa ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya mengangguk. Yah, karena merasa terjebak dalam situasi penuh kebencian, aku juga membenci orangtuku.
Sebelum ke kantor, biasanya ia mencium pipiku saja, tapi kali ini ia juga memeluk. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika dia dalam perjalanan ke kantor, aku memutuskan ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Lalu tiba waktunya aku harus membayar. Namun dompetku tertinggal di rumah. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
Dan inilah jawabannya, “Maaf sayang, kemarin Farhan minta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu. Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan.
Aku marah besar. Aku mengomelinya. Kututup telepon dengan kasar. Tak lama, ponselku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi?”
“Sayang, aku pulang sekarang. Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, khawatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salon dan tanpa menunggu jawabannya, aku kembali menutup telepon.
Hujan turun deras. Aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tapi tak ada jawaban meski sudah berkali-kali kutelepon. Aku mulai marah lagi.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing di ujung telepon. “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri bapak Armandi?”
Lelaki asing itu ternyata polisi. Ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Aku terdiam. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit.
Aku hanya diam seribu basa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar, seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu … (Dikisahkan oleh Laela – bukan nama sebenarnya – di Jalan Gajah Semarang yang dituang ke dalam tulisan oleh Abdul Mughis)
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.