Rezeki Hitam dari Arang Randublatung
HITAM MANIS: Muryati warga Dukuh Keruk Randublatung tengah membongkar arang hasil buatannya. Arang hitam ini mampu menghidupi Muryati dan keluarganya. ( HARSEM/ URIP DARYANTO-JBSM ) |
BLORA-Mentari perlahan naik. Sinarnya yang terik sangat terasa ketika kami sampai pada sebuah perkampungan. Dukuh Keruk, itulah nama pemukiman di pinggiran hutan yang masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung. Kepulan asap dari gundukan-gundukan tanah menjadi pemandangan sepanjang jalan.
Perjalanan terhenti di salah satu pekarangan. Perempuan muda tampak keluar dari sebuah rumah berdinding papan sederhana. Dengan membawa garuk (alat keruk tradisioanl dari kayu), Ia bergegas menuju sebuah gundukan kecil dan membongkarnya. Asap bercampur debu langsung mengepul dari gundukan yang ternyata merupakan tempat pembakaran tersebut.
Setelah disiram air, bongkahan-bongkahan berwarna hitam pun terlihat di antara sisa-sisa pembakaran. “Saya sedang membongkar arang,” kata Muryati, nama perempuan berusia 31 tahun mengawali pembicaraan.
Membuat arang sudah menjadi pekerjaan sehari-hari warga Dukuh Keruk. Selama bertahun-tahun, mayoritas warga di dukuh yang masuk Kelurahan Randublatung menggantungkan perekonomian keluarga mereka dari hasil pembuatan bahan bakar alternatif tersebut.
Dari Dulu
“Kalau mau cari arang ya di sini pabriknya. Dari dulu simbah-simbah kai sudah membuat arang,” tutur Muryati sambil menambahkan, mendapatkan keahlian membuat arang dari kakek neneknya.
Untuk menghasilkan arang berkualitas bagus, diperlukan pembakaran hingga 24 jam. Sehari Muryati biasa memperoleh hasil 10 karung kecil. Sepekan sekali, pedagang dari Pasar Randublatung datang untuk membelinya. Satu karung biasa dihargai Rp 10.000.
Seperti Muryati, warga lain juga mengaku, tidak akan meninggalkan pekerjaan membuat arang. Meskipun saat ini masyarakat sudah beralih ke kompor gas. Selain sudah memiliki pasar sendiri, melestarikan warisan leluhur menjadi alasan mereka untuk bertahan.
Menurut Jani (37), predikat sebagai penghasil arang sudah terlanjut melekat. Karena itu segala upaya dilakukan agar pembuatan arang tetap lestari.
Ia mengungkapkan, warga menyadari kendala yang dihadapi. Yaitu keterbatasan bahan baku. Sebab, bonggel dan kayu jati glondongan kecil (giligan) sebagai bahan baku utama sudah mulai berkurang dan sulit didapat.
“Sebenarnya sudah ada larangan mengambil bonggel dari Perhutani. Tapi karena ini menjadi sandang pangan kami, akhirnya dibiarkan hingga sekarang,” ungkapnya. (Urip Daryanto-JBSM/16)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.