Berita

[Berita][bleft]

Artikel

[Ekonomi][twocolumns]

Potret Buruk Kesenjangan Pendidikan

Oleh M Iqbal Birsyada
Pengamat Pendidikan Kota Semarang

BEBERAPA waktu yang lalu penulis memberikan gagasan pemikiran lewat Harian Semarang edisi 28 Oktober 2010 perihal tidak meratanya kualitas pendidikan nasional kita, khususnya di Kota Semarang.

Ketika Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 mengamanahkan pada negara bahwa tiap-tiap warganegara berhak mengenyam pendidikan yang layak bagi kemanusiaan. Karena pada dasarnya manusia itu membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Oleh karenanya pendidikan itu sebenarnya ditujukan untuk membentuk manusia yang berkepribadian yang lebih baik, yaitu manusia Indonesia yang memiliki kepribadian yang baik, yaitu manusia yang sikap dan perilakunya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

Akan tetapi setelah melihat realita yang ada dilapangan, penulis sempat mengelus dada seakan hati tercabik-cabik karena ditengah gemerlapnya sekolah-sekolah negeri di pusat Kota Semarang ini dengan embel-embel sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional sampai yang berstandar Internasional, ternyata masih banyak sekolah-sekolah negeri di pedesaan pelosok kota yang mengalami krisis guru, gedung serta dana.

Sekolah-sekolah tersebut adalah sekolah-sekolah yangberada dibawah Diknas Pendidikan Non Formal Informal(PNFI). Padahal jelas-jelas landasan hukum UU No 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional mengakomodasi sekolahs ekolah seperti pusat kegiatan belajar mengajar, pendidikan kesetaraan sebagai salah satu pembelajaran yang sah dan legal.

Sekarang yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dibawah naungan Direktorat Kesetaraan, Dirjen Pendidikan luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional RI. Siswa yang memilih pendidikan di sekolah-sekolah dibawah PNFI ini akan memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Ijazah ini dapat digunakan untuk melanjutkan di sekolah formal yang lebih tinggi, bahkan perguruan tinggi di luar negeri.

Realita dilapangan yang penulis temukan dilapangan banyak ditemukan pendidikan nasional yang dibawah PNFI yang bersekolah tanpa gedung yang jelas, biaya sekolah tak jarang di gratiskan oleh pengelola pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) maupun paket kesetaraan, karena kondisi ekonomi siswa, serta kondisi keuangan sekolah yang kembang kempis.

Para guru-guru PNFI ini harus merogoh koceknya sendiri untuk “menambal” biaya-biaya proses kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Kuranganya suntikan dana serta perhatian dari pihak Diknas Kota Semarang maupun pusat tak akan mengurangi niat keikhlasan guru-guru PNFI ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa pamrih.

Banyak anak-anak atau orang-orang dewasa yang putus sekolah, para atlit nasional yang didalam sekolah formal tidak dapat dinaunginya, tetapi kemudian dapat dinaungi oleh sekolah- sekolah dibawah PNFI ini.

Akan tetapi, jerih payah para guru-guru dan semangat sekolah-sekolah dibawah PNFI ini serasa kurang mendapatkan respon yang baik dari kebijakan pendidikan nasional kita.

Sehingga ini akan sangat mempengaruhi sikap mental para guru-guru sekolah yang berada dibawah PNFI. Kurangnya suntikan dana dari pemerintah, serta ketidakjelasan nasib guruguru di sekolah-sekolah PNFI untuk mendapatkan gaji yang layak pun sangat mustahil untuk didapatkan, apalagi untuk diangkat menjadi PNS.

Setelah penulis melakukan observasi dilapangan mendapatkan kesimpulan jika hampir tidak ada guru-guru yang murni dari sekolah-sekolah dibawah PNFI ini yang diangkat menjadi PNS. Yang ada adalah guru-guru yang tadinya menjadi PNS di sekolah Formal kemudian ditarik masuk kedalam sekolahsekolah PNFI ini untuk menjadi unjungtombak sekaligus ujung “tombok”.

Potret situasi pendidikan diatas adalah bukti dari ketidakjelian kebijakan pendidikan nasional kita yang tidak selaras dengan UUD 1945, ini merupakan kesenjangan sosial yang nyata dan blak-blakan.

Ketika amanat UUD 45 mengatakan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat, maka itu ditutup dengan komersialisme pendidikan lewat stratifikasi pendidikan, yaitu lewat rintisan sekolah bertaraf nasional, dan sekolah yang bertaraf internasional. Disisi lain sekolah-sekolah dibawah PNFI Kota Semarang ini banyak yang kelimpungan kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat.

Akhirnya kita semua harus sadar, jika pendidikan nasional kita sama sekali belum merdeka dan belum mandiri. Klasifikasi pendidikan lewat Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) membuat jurang pemisah semakin jauh antara si kaya dan si miskin.

Apabila demokrasi pendidikan ini di putarbalikkan menjadi komersialisasi pendidikan seperti ini, sungguh ini merupakan pengingkaran berat terhadap konsitusi negara. Akan kemana lagi para guru-guru PNFI ini mengadu, para siswa-siswa mendapatkan perhatian jika tidak pada pemerintah setempat yang mengelola PNFI.

Jika hal ini berlarut-larut maka ini sebuah pengingkaran terhadap prinsip demokrasi pendidikan Pancasila. (*)
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.


Desakundi

[Desakundi][threecolumns]

Pendidikan

[Pendidikan][list]

Ekonomi

[Ekonomi][grids]

Politik

[Politik][bsummary]

Oase

[Oase][threecolumns]
Create gif animations. Loogix.com. Animated avatars. Animated avatar. Motley Animated avatar. Gif animator. Animated avatar. Gif animator. Zoom Gif animator. Motley Create gif animations. Zoom Animated avatar. Movie Create gif animations. Gif animator. Zoom Animated avatar. Loogix.com. Animated avatars. Negative Animated avatar. Zoom Rumah Zakat Animated avatar. Negative Babyface, Harian Semarang liquid executive club, tonitok rendezvous