SBY Terancam Tak Dipercaya Rakyat
Polemik keistimewaan Yogyakarta disebut-sebut hanya sebagai test case untuk mengetahui respons masyarakat. Jika hal itu benar, diprediksi akan berdampak buruk bagi kepentingan politik Presiden SBY.
Setidaknya itulah yang disampaikan anggota Komisi II DPR dari FPDIP Ganjar Pranowo dalam diskusi Keistimewaan DIY dan Amandemen UUD 1945, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. “Seandainya prediksi itu benar bahwa persoalan RUU DIY ini adalah test case dan akhirnya selesai begitu saja, maka SBY bunuh diri, karena dia tidak akan dipercaya oleh rakyat,” kata Ganjar.
Menurutnya, seharusnya polemik keistimewaan DIY itu tidak usah diperpanjang dan pemerintah harus serius dengan melakukan pendekatan persuasif. “Bukan dengan alasan yang lain,” tegasnya. Sementara, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta meyakini perbedaan pendapat antara pemerintah dengan warga Yogyakarta terkait keistimewaan Yogyakarta akan berbuntut panjang.
Menurutnya, jika pemerintah terus memaksakan kehendak tanpa mendengarkan aspirasi rakyat Yogya, protes akan terus bergulir. “Sama saja itu adalah perlawanan terhadap aspirasi rakyat. Ini jelas melawan aspirasi rakyat,” kata Wakil Ketua DPR ini.
Ditambahkannya, efek lebih jauh jika tidak segera dicarikan solusi yang tepat, polemik Keistimewaan Yogyakarta akan berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat Yogyakarta terhadap pemerintah. Bahkan perbedaan pandangan ini akan terus bergulir mengancam keutuhan NKRI. “Ini ancaman yang perlu diantisiasi. Selama ini daerah di ujung yang minta pisah. Ini daerah tengah, ancamannya jauh lebih dahsyat. Ini ancamannya disintegrasi.”
Sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi pernah membantah bahwa isu RUUK DIY digulirkan untuk test case. Gamawan berdalih, polemik tersebut muncul dari penjelasan Presiden yang tidak dipahami secara luas oleh masyarakat. Menurutnya, ketegangan antara Yogya dengan pusat lebih disebabkan adanya misinterpretasi tentang RUU tersebut.
Jangan Diganggu
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arief menegaskan, keistimewaan Yogyakarta tidak perlu diganggu dengan isu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. “DIY disinggung-singgung seolah mencederai demokrasi dan UUD 1945, itu dari mana? Bahkan UUD 1945 sendiri mengakui keistimewaan Yogyakarta,” katanya di Jakarta, kemarin.
Ditambahkannya, secara kesejarahan, justru Yogyakartalah yang menjaga Indonesia dan demokrasi di Indonesia tetap dapat berjalan. Dikatakannya, tanpa peran Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX, yang rela membiayai keberadaan negara Indonesia di masa revolusi, sulit untuk membayangkan negara Indonesia dan demokrasi itu ada. “Untuk itu, pemerintah tak perlu buat gara-gara dan goro-goro. Kalau ini namanya gara-gara dan gorogoro,” katanya.
Sebagaimana dikatehaui, pernyataan Presiden SBY terkait dengan ketidakcocokan antara monarki dan demokrasi di DIY telah mendapatkan tanggapan dari banyak pihak.Pernyataan Presiden ini kemudian dijabarkan dalam RUUK Yogyakarta yang akan diusulkan dengan memuat pasal terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Padahal selama ini Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang diistimewakan memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur yang ditetapkan, yaitu sultan dari Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alam. Namun dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan diajukan, mengubah penetapan menjadi pemilihan secara langsung. Hal itu memicu berbagai aksi penolakan di Yogyakarta.
Segera Damai
Sementara itu, politisi PKB Lukman Edy meminta agar Presiden SBY dan Sri Sultan HB X segera didamaikan. Sebab, menurutnya, saat ini keduanya terlibat ‘perang dingin’. Bahkan, perseteruan itu sudah melebar ke urusan pribadi. “Karena ternyata konfliknya bukan hanya persoalan negara saja, tapi persoalan pribadi juga. Ini sudah parah,” terang Lukman dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Ia berharap ada pihak ketiga yang menengahi dan mendamaikan dua tokoh tersebut. “Harus ada penengah. Saya usulkan Pak Taufik Kiemas adalah orang yang pantas untuk menengahi. Beliau tokoh yang paling representatif dari sisi pribadi dan kelembagaan,” usulnya.
Menurut anggota Komisi II DPR ini, perdebatan Yogyakarta sudah masuk tahap yang sangat rawan. Karena pihak Keraton Yogyakarta sudah cukup gerah. “Ada seorang pangeran Yogyakarta yang pernah bilang, kalau NKRI sudah merasa besar dan mandiri, ya sudah. Kita siap talak dua atau talak tiga terhadap NKRI. Ini serius,” tandasnya.
Selain itu, daerah-daerah lain juga mulai sangat rawan. Karena bibit-bibit disintegrasi kembali muncul. “Daerahdaerah mulai bertanya. Apa masih butuh pemerintah pusat kalau tidak memberikan kesejahteraan,” terangnya. (sak)
Setidaknya itulah yang disampaikan anggota Komisi II DPR dari FPDIP Ganjar Pranowo dalam diskusi Keistimewaan DIY dan Amandemen UUD 1945, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. “Seandainya prediksi itu benar bahwa persoalan RUU DIY ini adalah test case dan akhirnya selesai begitu saja, maka SBY bunuh diri, karena dia tidak akan dipercaya oleh rakyat,” kata Ganjar.
Menurutnya, seharusnya polemik keistimewaan DIY itu tidak usah diperpanjang dan pemerintah harus serius dengan melakukan pendekatan persuasif. “Bukan dengan alasan yang lain,” tegasnya. Sementara, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta meyakini perbedaan pendapat antara pemerintah dengan warga Yogyakarta terkait keistimewaan Yogyakarta akan berbuntut panjang.
Menurutnya, jika pemerintah terus memaksakan kehendak tanpa mendengarkan aspirasi rakyat Yogya, protes akan terus bergulir. “Sama saja itu adalah perlawanan terhadap aspirasi rakyat. Ini jelas melawan aspirasi rakyat,” kata Wakil Ketua DPR ini.
Ditambahkannya, efek lebih jauh jika tidak segera dicarikan solusi yang tepat, polemik Keistimewaan Yogyakarta akan berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat Yogyakarta terhadap pemerintah. Bahkan perbedaan pandangan ini akan terus bergulir mengancam keutuhan NKRI. “Ini ancaman yang perlu diantisiasi. Selama ini daerah di ujung yang minta pisah. Ini daerah tengah, ancamannya jauh lebih dahsyat. Ini ancamannya disintegrasi.”
Sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi pernah membantah bahwa isu RUUK DIY digulirkan untuk test case. Gamawan berdalih, polemik tersebut muncul dari penjelasan Presiden yang tidak dipahami secara luas oleh masyarakat. Menurutnya, ketegangan antara Yogya dengan pusat lebih disebabkan adanya misinterpretasi tentang RUU tersebut.
Jangan Diganggu
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arief menegaskan, keistimewaan Yogyakarta tidak perlu diganggu dengan isu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. “DIY disinggung-singgung seolah mencederai demokrasi dan UUD 1945, itu dari mana? Bahkan UUD 1945 sendiri mengakui keistimewaan Yogyakarta,” katanya di Jakarta, kemarin.
Ditambahkannya, secara kesejarahan, justru Yogyakartalah yang menjaga Indonesia dan demokrasi di Indonesia tetap dapat berjalan. Dikatakannya, tanpa peran Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX, yang rela membiayai keberadaan negara Indonesia di masa revolusi, sulit untuk membayangkan negara Indonesia dan demokrasi itu ada. “Untuk itu, pemerintah tak perlu buat gara-gara dan goro-goro. Kalau ini namanya gara-gara dan gorogoro,” katanya.
Sebagaimana dikatehaui, pernyataan Presiden SBY terkait dengan ketidakcocokan antara monarki dan demokrasi di DIY telah mendapatkan tanggapan dari banyak pihak.Pernyataan Presiden ini kemudian dijabarkan dalam RUUK Yogyakarta yang akan diusulkan dengan memuat pasal terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Padahal selama ini Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang diistimewakan memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur yang ditetapkan, yaitu sultan dari Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alam. Namun dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan diajukan, mengubah penetapan menjadi pemilihan secara langsung. Hal itu memicu berbagai aksi penolakan di Yogyakarta.
Segera Damai
Sementara itu, politisi PKB Lukman Edy meminta agar Presiden SBY dan Sri Sultan HB X segera didamaikan. Sebab, menurutnya, saat ini keduanya terlibat ‘perang dingin’. Bahkan, perseteruan itu sudah melebar ke urusan pribadi. “Karena ternyata konfliknya bukan hanya persoalan negara saja, tapi persoalan pribadi juga. Ini sudah parah,” terang Lukman dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Ia berharap ada pihak ketiga yang menengahi dan mendamaikan dua tokoh tersebut. “Harus ada penengah. Saya usulkan Pak Taufik Kiemas adalah orang yang pantas untuk menengahi. Beliau tokoh yang paling representatif dari sisi pribadi dan kelembagaan,” usulnya.
Menurut anggota Komisi II DPR ini, perdebatan Yogyakarta sudah masuk tahap yang sangat rawan. Karena pihak Keraton Yogyakarta sudah cukup gerah. “Ada seorang pangeran Yogyakarta yang pernah bilang, kalau NKRI sudah merasa besar dan mandiri, ya sudah. Kita siap talak dua atau talak tiga terhadap NKRI. Ini serius,” tandasnya.
Selain itu, daerah-daerah lain juga mulai sangat rawan. Karena bibit-bibit disintegrasi kembali muncul. “Daerahdaerah mulai bertanya. Apa masih butuh pemerintah pusat kalau tidak memberikan kesejahteraan,” terangnya. (sak)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.