Remisi Koruptor & Teroris Dibekukan
Meski bakal ada perlawanan, Kemenkum HAM tak surut untuk membekukan remisi bagi koruptor dan teroris. Inilah semangat pemberantasan, sekaligus penegasan pemberian efek jera terhadap kasus korupsi dan terorisme.
ADANYA keringanan hukuman bagi tahanan kasus korupsi dan terorisme dinilai sejumlah kalangan tidak efektif dalam pemberantasan kasus korupsi dan terorisme. Pemerintah pun diminta untuk meninjau ulang keringanan hukuman untuk tahanan kasus tersebut.
ADANYA keringanan hukuman bagi tahanan kasus korupsi dan terorisme dinilai sejumlah kalangan tidak efektif dalam pemberantasan kasus korupsi dan terorisme. Pemerintah pun diminta untuk meninjau ulang keringanan hukuman untuk tahanan kasus tersebut.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia segera merespons. Pertama, dengan tidak memberlakukan lagi pembebasan bersyarat bagi tahanan kasus korupsi dan terorisme. “Itu tidak kami lakukan,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana di Kantor Kemenkumham di Jakarta, kemarin.
Kedua, Denny melanjutkan, Kemenkum HAM juga telah mencanangkan moratorium (pembekuan) pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi para koruptor dan pelaku teroris. “Remisi akan kami moratorium dan akan kami kaji ulang,” ujarnya.
Rencana penghentian pemberian remisi ini untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi dan terorisme karena tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
“Ide itu adalah dukungan agar pemberian efek jera semakin dirasakan dan sesuai dengan keadilan masyarakat,” papar Denny. “Sistem pencegahan akan kami lakukan, karena pemberantasan korupsi harus paralel, bukan hanya penindakan tapi juga pencegahan,” lanjutnya.
KPK Mendukung
Sebelumnya, pemerintah memang telah lama mengkaji penghentian pemberian remisi kepada para koruptor. Kemenkum HAM telah membentuk tim untuk mengkaji hal itu sewaktu masih dipimpin Patrialis Akbar. Rencana moratorium remisi ini pun kini dibebankan kepada Menkum HAM yang baru saja dilantik, Amir Syamsuddin.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung rencana pemerintah. ”Kami merespons, mengapresiasi,” kata Ketua KPK Busyro Muqoddas, pertengahan September silam.
Adanya remisi diharapkan KPK bisa memberikan efek jera kepada para koruptor, setelah KPK berupaya keras untuk memberikan penindakan. Sayangnya, selama ini penindakan KPK terbentur pada tidak maksimalnya masa hukuman yang dijalani para koruptor.
Selama ini, rata-rata tahanan kasus korupsi mendapat vonis selama 5-7 tahun penjara. Masa penahanan ini dianggap tidak memberikan efek jera, apalagi dengan adanya remisi, maka masa penahanan bisa berkurang menjadi hanya selama 3-5 tahun.
Adapun, vonis terberat yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah 20 tahun. Vonis ini diberikan kepada jaksa senior, Urip Tri Gunawan yang didakwa kasus penyuapan, melibatkan Artalyta Suryani. Artalyta sendiri dikenai vonis 5 tahun.
Tapi untuk moratorium remisi, Busyro meminta pemerintah untuk melibatkan unsur lain dalam kajian-kajian yang dilakukan. “Perumusan draft revisi itu melibatkan unsur-unsur civil society, termasuk kampus,” kata Busyro.
Pro-Kontra
Tapi rencana pemerintah untuk melakukan moratorium remisi kepada para pelaku kejahatan luar biasa dinilai tidak tepat. Karena dalam Undang-undang Permasyarakatan, remisi merupakan hak setiap terpidana.
Kritik terhadap moratorium remisi terhadap koruptor dan teroris bahkan diungkapkan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa. “Kalau Undang-undang menyatakan bisa remisi, menteri salah kalau tidak laksanakan pemberian remisi itu,” ujar Harifin, akhir September silam.
Hal senada juga diucapkan Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Megawati Soekarno Putri, Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, pembekuan remisi itu justru melanggar Hak Asasi Manusia.
”Kepada seluruh narapidana harus diperlakukan sama tanpa membedakan jenis kejahatan dilakukan. Lembaga Pemasyarakatan bukan lagi penjara, hanya hak-hak kebebasan diambil. Jadi kalau remisi diambil, sama saja dengan telah merampas hak mereka sebagai masyarakat Indonesia,” katanya.
Yusril kemudian menjelaskan, dalam United Nation Convention Treatment of Prisoner atau Konvensi PBB tentang perlakuan kepada narapidana, disebutkan bahwa narapidana tidak bisa diperlakukan secara diskriminatif.
Bisa Dilakukan
Walau begitu, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Mas Achmad Santosa menilai, pembekuan remisi bisa dilakukan tanpa harus menunggu perubahan UU Permasyarakatan.
Dalam pandangan pribadi Ota, panggilan akrab Mas Achmad Santosa, Presiden cukup mengubah PP 28 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Prosedur Remisi dan Pembebasan Bersyarat. PP itu menyebutkan bahwa napi korupsi hanya dapat diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan, salah satunya menjalani 1/3 masa hukumannya.
“Perubahan hanya dibutuhkan rumusan bahwa remisi hanya dapat diberikan apabila napi koruptor itu dapat dikategorikan sebagai justice collaborator atau pelaku yang bekerjasama,” ujarnya. “Jadi, benar remisi merupakan hak, tapi hanya dapat diberikan kepada pelaku yang bekerjasama atau JC.”
Ota juga mengingatkan, pembenahan tidak cukup dilakukan di sistem permasyarakatan. Perbaikan juga harus dilakukan di tingat penyidikan, penuntutan, dan pemutusan.
Dengan bermacam pro-kontra yang muncul, Denny Indrayana menjelaskan, penerapan moratorium remisi berangkat dari semangat pemberantasan korupsi, juga menangkap aspirasi dan rasa keadilan bagi masyarakat. Karena itu Kemenkum HAM tidak akan mundur dalam melakukan moratorium remisi. ”Pasti akan ada perlawanan, tentu akan kami hadapi, kami perhatikan. Tapi aspirasi juga akan kita pertimbangkan,” tegasnya. (dnr)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.