Pilih Menjanda daripada Kawin Paksa
PERKAWINAN bagi banyak orang adalah peristiwa yang sangat menyenangkan. Duduk di pelaminan, diramaikan resepsi yang meriah, hampir pasti didambakan setiap insan.
Namun rasa bahagia itu tak dirasakan oleh Bunga, bukan nama sebenarnya, gadis berusia 16 tahun yang dipaksa nikah oleh bapaknya. Pesta perkawinan yang digelar usai ijab kabulnya dengan Rosad (33), nama samaran juga, dia rasakan sebagai siksaan.
Di pelaminan itu, di hadapan ratusan tamu yang diundang untuk memberi doa dan restu, Bunga menangis sepanjang waktu. Air matanya tak berhenti mengalir. Kesedihan wajahnya juga tak bisa disembunyikan dari tatapan ratusan pasang mata yang hanya bisa diam sambil bertanyatanya.
Bunga sama sekali tak mau berdekatan dengan suami sahnya yang duduk di samping dia di kursi pengantin. Setengah mati dia menahan gejolak batin saat tangannya dituntun menyalami telapak tangan lakilaki yang didaulat petugas dari kantor KUA menjadi suaminya. Tubuhnya hampir rubuh sebelum ia pingsan usai menjalani prosesi panggih temanten.
Di acara walimatul ursy itu, suasana yang tercipta mirip kisah dalam sinetron. Pengantin wanita menangis sesenggukan, si pengantin pria tenang saja, malah penuh senyum dan tawa. Sementara orang tua masingmasing, karena biasa melihat hal itu terjadi pada peristiwa kawin paksa, menganggap tangis Bunga hanya emosi sesaat.
Namun dugaan mereka ternyata salah. Bunga sama sekali tidak berhenti menangis. Hingga pak kiai selesai memberi wejangan kotbah nikah dan pak modin selesai membaca doa, derai air matanya tak kunjung usai. Segala bujuk rayu dari anggota keluarganya, tak mempan melunakkan hatinya. Minuman air putih maupun buah-buahan yang disodorkan untuk meredam amarah dalam tangisnya, tak mau dia sentuh. Bahkan kepalanya terus menggeleng jika diajak bicara, walau dengan cara selembut apapun.
Temantemannya tak tega melihat mata Bunga yang sembab dan wajahnya yang semakin murung.
Mereka bahkan ikut gethem-gethem kepada Rosad yang dinilai sebagai lelaki tak tahu diri. Juga dipenuhi kebencian terhadap bapak si Bunga yang dianggap kejam pada anak.
Hingga seminggu lebih Bunga tetap bergeming dengan sikapnya. Tak mau bertemu suami yang memang belum pernah dikenalnya. Si Rosad akhirnya mengalah, pulang ke rumah orang tuanya yang tak jauh dari desa Bunga, di daerah pinggiran Kota Semarang.
Menghadapi kenyataan itu, ayah Bunga jatuh sakit. Tak lama kemudian meninggal dunia karena serangan jantung. Entah bagaimana perasaannya ditinggal bapaknya, yang jelas Bunga merasakan dirinya merdeka. Secara tegas dia pun memutuskan cerai. Dia kirim kurir ke Pengadilan Agama Semarang untuk mendaftarkan gugatan cerainya. Juga dia suruh memberi tahu suaminya agar menjatuhkan talak tiga baginya.
Bunga lebih senang jadi janda daripada punya suami tapi tiap hari berbuat dosa karena bersikap penuh benci. Dia meyakini rumah tangganya akan berbahaya jika dijalani dengan keterpaksaan dan kepura-puraan.
Setahun setelah Pengadilan Agama Semarang memutus perceraiannya, mantan suaminya menikah dengan perempuan lain. Dan Bunga pun akhirnya mendapat pasangan hidup ideal pilihannya sendiri. Seorang pemuda saleh yang dikenalnya sejak kecil. Tetangganya sendiri. Bunga menganggap perjalanan hidupnya sebagai sebuah sinetron yang happy ending. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan jika ingin mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Namun rasa bahagia itu tak dirasakan oleh Bunga, bukan nama sebenarnya, gadis berusia 16 tahun yang dipaksa nikah oleh bapaknya. Pesta perkawinan yang digelar usai ijab kabulnya dengan Rosad (33), nama samaran juga, dia rasakan sebagai siksaan.
Di pelaminan itu, di hadapan ratusan tamu yang diundang untuk memberi doa dan restu, Bunga menangis sepanjang waktu. Air matanya tak berhenti mengalir. Kesedihan wajahnya juga tak bisa disembunyikan dari tatapan ratusan pasang mata yang hanya bisa diam sambil bertanyatanya.
Bunga sama sekali tak mau berdekatan dengan suami sahnya yang duduk di samping dia di kursi pengantin. Setengah mati dia menahan gejolak batin saat tangannya dituntun menyalami telapak tangan lakilaki yang didaulat petugas dari kantor KUA menjadi suaminya. Tubuhnya hampir rubuh sebelum ia pingsan usai menjalani prosesi panggih temanten.
Di acara walimatul ursy itu, suasana yang tercipta mirip kisah dalam sinetron. Pengantin wanita menangis sesenggukan, si pengantin pria tenang saja, malah penuh senyum dan tawa. Sementara orang tua masingmasing, karena biasa melihat hal itu terjadi pada peristiwa kawin paksa, menganggap tangis Bunga hanya emosi sesaat.
Namun dugaan mereka ternyata salah. Bunga sama sekali tidak berhenti menangis. Hingga pak kiai selesai memberi wejangan kotbah nikah dan pak modin selesai membaca doa, derai air matanya tak kunjung usai. Segala bujuk rayu dari anggota keluarganya, tak mempan melunakkan hatinya. Minuman air putih maupun buah-buahan yang disodorkan untuk meredam amarah dalam tangisnya, tak mau dia sentuh. Bahkan kepalanya terus menggeleng jika diajak bicara, walau dengan cara selembut apapun.
Temantemannya tak tega melihat mata Bunga yang sembab dan wajahnya yang semakin murung.
Mereka bahkan ikut gethem-gethem kepada Rosad yang dinilai sebagai lelaki tak tahu diri. Juga dipenuhi kebencian terhadap bapak si Bunga yang dianggap kejam pada anak.
Hingga seminggu lebih Bunga tetap bergeming dengan sikapnya. Tak mau bertemu suami yang memang belum pernah dikenalnya. Si Rosad akhirnya mengalah, pulang ke rumah orang tuanya yang tak jauh dari desa Bunga, di daerah pinggiran Kota Semarang.
Menghadapi kenyataan itu, ayah Bunga jatuh sakit. Tak lama kemudian meninggal dunia karena serangan jantung. Entah bagaimana perasaannya ditinggal bapaknya, yang jelas Bunga merasakan dirinya merdeka. Secara tegas dia pun memutuskan cerai. Dia kirim kurir ke Pengadilan Agama Semarang untuk mendaftarkan gugatan cerainya. Juga dia suruh memberi tahu suaminya agar menjatuhkan talak tiga baginya.
Bunga lebih senang jadi janda daripada punya suami tapi tiap hari berbuat dosa karena bersikap penuh benci. Dia meyakini rumah tangganya akan berbahaya jika dijalani dengan keterpaksaan dan kepura-puraan.
Setahun setelah Pengadilan Agama Semarang memutus perceraiannya, mantan suaminya menikah dengan perempuan lain. Dan Bunga pun akhirnya mendapat pasangan hidup ideal pilihannya sendiri. Seorang pemuda saleh yang dikenalnya sejak kecil. Tetangganya sendiri. Bunga menganggap perjalanan hidupnya sebagai sebuah sinetron yang happy ending. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan jika ingin mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.