Ponpes Salafiyah Al-Munawir Pedurungan
Pernah Dibakar Jepang
JIKA ada waktu, cobalah datang ke Ponpes Salafiyah Al-Munawir di Kelurahan Gemah, Kecamatan Pedurungan ini. Ponpes yang diasuh oleh kakak beradik Kiai Ahmad Rifai dan Kiai Ahmad Baidlowi bin Abdussomad ini, pada masa perjuangan kemerdekaan pernah dibakar tentara Dai Nippon atau tentara Jepang pada 1942.
Pembakaran yang menghabiskan seluruh bangunan pondok itu terjadi belum genap 100 hari sejak wafat pendirinya, Kiai Abdullah Munawir. Jepang memang hendak menangkap sang kiai yang gigih mengorganisasi santri dan pemuda Semarang untuk melawan Jepang. Telebih Kiai Munawir adalah murid seangkatan pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Abdullah Wahab saat nyantri pada Syaichona Kholil, Bangkalan Madura. Mahaguru ulama tanah Jawa.
Sebatang pohon sawo yang telah gosong, satu-satunya yang tersisa dari pembakaran brutal itu, hingga kini masih disimpan di halaman pondok untuk dikenang kesaksian bisunya. Kala itu, seluruh anggota Nyai Rohmah Munawir dan putra putrinya mengungsi ke berbagai tempat hingga Demak dan Grobogan, sampai akhirnya Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Pondok yang terletak di pinggir Kali Banjir Kanal Timur ini dulunya masuk Kelurahan Sendanguwo.
Daerah yang dulunya merupakan sarang penyamun. Di kelurahan yang meliputi kawasan selatan dan utara sungai ini, saat masih diliputi hutan, dulu dikenal daerah hitam. Karena dihuni para penjahat yang dipimpin Jan Komplong, raja begal yang sakti mandraguna.
Kiai Muhamad Abdul Haq (71), putra Kiai Abdullah Munawir kepada Harian Semarang menuturkan, abahnya didukung si mertua, Kiai Abdullah Sajjad yang ingin mendirikan ponpes, berhasil mengalahkan si gembong penjahat itu. Sehingga bisa babad alas dan melakukan dakwah Islam. Lambat laun Sendangguwo berubah menjadi kampung santri yang aman setelah Ponpes Al-Munawir didirikan. Konon, kata Gus Muhamad Sirojuddin bin Kiai Ahmad Rifa’i (33), Kiai Sajjad dijuluki Pendekar Pesisir Utara.
Menurut Abah Abdul Haq, panggilan akrab Kiai Muhammad Abdul Haq, ke-alim-an Kiai Munawir dijadikan rujukan para kiai di Semarang, Demak dan sekitarnya. Mursyid toriqoh dan pengasuh Ponpes Futuhiyyah Mranggen Kiai Muslih dan Kiai Murodi adalah di antara santrinya. Hampir semua santri yang pernah berguru pada Kiai Munawir berhasil menjadi Kiai dan mendirikan pesantren sepulangnya di kampung halaman.
Diincar
Bukan hanya penjajah asing yang memusuhi para pemimpin pondok yang melahirkan para pejuang Semarang ini. Ketika masa Orde Baru, ranah politiknya sempat menerpa deras ke pondok ini. Karena Kiai Abdul Haq dan keluarganya menolak meninggalkan Partai NU, yang kala itu menjadi pesaing utama partai milik penguasa, dia diburu pasukan siluman.
Mengetahui upaya penculikan tersebut, Abdul Haq bersembunyi dengan berpindah-pindah demi menghindari kekerasan. Walau upayanya berhasil, tetapi salah satu santrinya yang sedang sholat Subuh di sebuah langgar di Demak, dibunuh ramai-ramai oleh seorang oknum kepala desa dan puluhan anak buahnya.
Kepada Harian Semarang yang datang di rumah tempat uzlah (pengasingan)-nya, Kiai Abdul Haq menuturkan, para kiai merupakan pihak yang selalu dimusuhi oleh penguasa yang jahat.
Tahun 1998 itu, ketika para Kiai yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mulai bangkit menggalang kekuatan politik untuk mendukung reformasi, muncullah operasi pembunuhan guru ngaji dan kiai yang diselubung dalam isu dukun santet. Pembunuhan misterius yang disebut Gus Dur sebagai Operasi Naga Hijau itu, kata Abdul Haq, juga mengorbankan keluarga ponpesnya.
Salah satu anggota keluarganya, Kiai Misbahul Munir, diculik sekelompok orang yang mengendarai mobil saat hendak sholat subuh. Beruntung, meski tubuhnya telah dicacah, menantu Kiai Zaenuri Grobogan itu masih diberi kesempatan hidup, meski dua orang lainnya wafat.
“Kita memang masih harus prihatin. Banyaknya gempa bencana di negeri ini juga karena banyaknya ulama yang wafat,” pungkas dia. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalah gunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Pembakaran yang menghabiskan seluruh bangunan pondok itu terjadi belum genap 100 hari sejak wafat pendirinya, Kiai Abdullah Munawir. Jepang memang hendak menangkap sang kiai yang gigih mengorganisasi santri dan pemuda Semarang untuk melawan Jepang. Telebih Kiai Munawir adalah murid seangkatan pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Abdullah Wahab saat nyantri pada Syaichona Kholil, Bangkalan Madura. Mahaguru ulama tanah Jawa.
Sebatang pohon sawo yang telah gosong, satu-satunya yang tersisa dari pembakaran brutal itu, hingga kini masih disimpan di halaman pondok untuk dikenang kesaksian bisunya. Kala itu, seluruh anggota Nyai Rohmah Munawir dan putra putrinya mengungsi ke berbagai tempat hingga Demak dan Grobogan, sampai akhirnya Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Pondok yang terletak di pinggir Kali Banjir Kanal Timur ini dulunya masuk Kelurahan Sendanguwo.
Daerah yang dulunya merupakan sarang penyamun. Di kelurahan yang meliputi kawasan selatan dan utara sungai ini, saat masih diliputi hutan, dulu dikenal daerah hitam. Karena dihuni para penjahat yang dipimpin Jan Komplong, raja begal yang sakti mandraguna.
Kiai Muhamad Abdul Haq (71), putra Kiai Abdullah Munawir kepada Harian Semarang menuturkan, abahnya didukung si mertua, Kiai Abdullah Sajjad yang ingin mendirikan ponpes, berhasil mengalahkan si gembong penjahat itu. Sehingga bisa babad alas dan melakukan dakwah Islam. Lambat laun Sendangguwo berubah menjadi kampung santri yang aman setelah Ponpes Al-Munawir didirikan. Konon, kata Gus Muhamad Sirojuddin bin Kiai Ahmad Rifa’i (33), Kiai Sajjad dijuluki Pendekar Pesisir Utara.
Menurut Abah Abdul Haq, panggilan akrab Kiai Muhammad Abdul Haq, ke-alim-an Kiai Munawir dijadikan rujukan para kiai di Semarang, Demak dan sekitarnya. Mursyid toriqoh dan pengasuh Ponpes Futuhiyyah Mranggen Kiai Muslih dan Kiai Murodi adalah di antara santrinya. Hampir semua santri yang pernah berguru pada Kiai Munawir berhasil menjadi Kiai dan mendirikan pesantren sepulangnya di kampung halaman.
Diincar
Bukan hanya penjajah asing yang memusuhi para pemimpin pondok yang melahirkan para pejuang Semarang ini. Ketika masa Orde Baru, ranah politiknya sempat menerpa deras ke pondok ini. Karena Kiai Abdul Haq dan keluarganya menolak meninggalkan Partai NU, yang kala itu menjadi pesaing utama partai milik penguasa, dia diburu pasukan siluman.
Mengetahui upaya penculikan tersebut, Abdul Haq bersembunyi dengan berpindah-pindah demi menghindari kekerasan. Walau upayanya berhasil, tetapi salah satu santrinya yang sedang sholat Subuh di sebuah langgar di Demak, dibunuh ramai-ramai oleh seorang oknum kepala desa dan puluhan anak buahnya.
Kepada Harian Semarang yang datang di rumah tempat uzlah (pengasingan)-nya, Kiai Abdul Haq menuturkan, para kiai merupakan pihak yang selalu dimusuhi oleh penguasa yang jahat.
Tahun 1998 itu, ketika para Kiai yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mulai bangkit menggalang kekuatan politik untuk mendukung reformasi, muncullah operasi pembunuhan guru ngaji dan kiai yang diselubung dalam isu dukun santet. Pembunuhan misterius yang disebut Gus Dur sebagai Operasi Naga Hijau itu, kata Abdul Haq, juga mengorbankan keluarga ponpesnya.
Salah satu anggota keluarganya, Kiai Misbahul Munir, diculik sekelompok orang yang mengendarai mobil saat hendak sholat subuh. Beruntung, meski tubuhnya telah dicacah, menantu Kiai Zaenuri Grobogan itu masih diberi kesempatan hidup, meski dua orang lainnya wafat.
“Kita memang masih harus prihatin. Banyaknya gempa bencana di negeri ini juga karena banyaknya ulama yang wafat,” pungkas dia. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalah gunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
adakah silsilahnya ?
ReplyDeleteBetul mas agus. Mudah2an semua yg ditinggalkan beliau jg tidak hanya menjadi cerita belaka.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteUst. Yasin Anwar, Ust. Shofiyul Hadi, Kang Sholichan
ReplyDeleteSepertinyan kalau menurut cerita Kiai Abdullah Munawir juga pernah nikah lebih dari sekali.jadi ingin tau biografi dan silsilah beliau....
ReplyDelete