Tak Kuat Diomeli, Suami Gugat Cerai Istri
PROSES perceraian ternyata tidak segampang yang dibayangkan. Berkalikali datang ke sidang, belum menjamin hakim mengetok palu setuju. Padahal bisa jadi, pasangan yang menginginkan perpisahan itu menganggap perceraian adalah jalan terbaik.
Fulan (50), adalah salah seorang suami yang mengalaminya. Rasanya dia sudah bosan datang ke Pengadilan Agama Semarang untuk mengurus perceraiannya. Berulangkali sidang digelar, istrinya ngotot tak mau ditalak. Apalagi, hakim lebih menjalankan fungsi mediasi, yakni memberi nasihat dan mengupayakan agar terjadi perdamaian.
Terlebih, empat orang anaknya menolak mentahmentah rencana sang ayah menceraikan ibu mereka. Mereka tidak mau mendapat kesulitan di masa depan.
“Sudahlah, pak. Jika bapak benci sama ibu dan tidak mau bertengkar terus, menghindar saja. pokoknya, jangan sampai bercerai,” begitu desak anakanaknya tanpa kompromi.
Fulan dan istrinya memilih diam. Mereka cuek satu sama lain. Pasangan yang telah 25 tahun ini memilih berpisah. Fulan pulang ke kampung halamannya dan menumpang hidup di rumah mbakyunya.
Jatah warisan dari mendiang ayahnya ia pakai untuk ibadah haji. Sementara istrinya, tetap tinggal di rumah mereka di kota. Secara de facto, mereka telah bercerai.
Fulan dan istrinya samasama menganggap pasangannya brengsek. Isi pikiran keduanya dipenuhi rasa benci, dan mendoakan pasangannya agar cepat mati.
Di mata istrinya, Fulan adalah orang bermental lembek yang menjadikan agama sebagai tempat berlindung atas kekurangan atau kesalahannya. Apabila tak mendapat rezeki, Fulan wiridan semalaman memanjatkan doa minta kaya. Terkadang menginap di kuburan menumpahkan tangis.
Sedikit pun tanpa upaya nyata untuk memulai bisnis baru. Entah sampai kapanmereka kukuh dalam pendirian masing-masing. Fulan yang kini balik ndeso menikmati statusnya sebagai Pak Haji. Sedang istrinya sendirian di kota, ngrumat sang ibu kandung yang telah pikun. Mereka tak pernah mau bertemu, meski Lebaran tiap tahun datang. Anak-anak mereka sungkem ke dua tempat berbeda jika Idul Fitri tiba.
Padahal dulu mereka adalah pasangan yang bahagia. Keduanya sama-sama menjadi tokoh di lingkungannya. Para tetangga iri dengan kemesraan dan keberhasilan mereka mendidik anak-anaknya.
Dari perkawinannya mereka dikaruniai dua anak lakilaki dan dua perempuan. Keempat anak mereka sehat dan cerdas, semua berprestasi di sekolah. Bahkan anak pertama dan kedua mendapat beasiswa kuliah dan mereka menjadi tokoh mahasiswa di kampusnya.
Rumah tangga Fulan mulai goyah saat ia bangkrut dari bisnis tembakau. Dagangannya di pasar sering rugi karena kalah bersaing. Karena tidak biasa jadi orang kalah, Fulan jadi malas bekerja karena merasa tak punya keahlian lain.
Untung, saat itu anak-anaknya telah keluar dari rumah menempuh pilihan hidup masing-masing.
Di tengah kemerosotan ekonomi keluarga itu, istri Fulan jadi gampang marah. Mengomel dan mencaci Fulan yang dianggap tak bisa menjamin nafkah. Tiap hari mereka bertengkar. Selama empat tahun mereka tak pernah bisa rukun. Namun istrinya menolak perceraian sebab ia hanya menuntut suaminya agar bekerja untuk mendapat rezeki.
Sementara Fulan merasa bosan dan tertekan batinnya mendapat omelan hampir setiap hari. Akhirnya lelaki ini menempuh jalan pintas: bercerai. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan jika ingin mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Fulan (50), adalah salah seorang suami yang mengalaminya. Rasanya dia sudah bosan datang ke Pengadilan Agama Semarang untuk mengurus perceraiannya. Berulangkali sidang digelar, istrinya ngotot tak mau ditalak. Apalagi, hakim lebih menjalankan fungsi mediasi, yakni memberi nasihat dan mengupayakan agar terjadi perdamaian.
Terlebih, empat orang anaknya menolak mentahmentah rencana sang ayah menceraikan ibu mereka. Mereka tidak mau mendapat kesulitan di masa depan.
“Sudahlah, pak. Jika bapak benci sama ibu dan tidak mau bertengkar terus, menghindar saja. pokoknya, jangan sampai bercerai,” begitu desak anakanaknya tanpa kompromi.
Fulan dan istrinya memilih diam. Mereka cuek satu sama lain. Pasangan yang telah 25 tahun ini memilih berpisah. Fulan pulang ke kampung halamannya dan menumpang hidup di rumah mbakyunya.
Jatah warisan dari mendiang ayahnya ia pakai untuk ibadah haji. Sementara istrinya, tetap tinggal di rumah mereka di kota. Secara de facto, mereka telah bercerai.
Fulan dan istrinya samasama menganggap pasangannya brengsek. Isi pikiran keduanya dipenuhi rasa benci, dan mendoakan pasangannya agar cepat mati.
Di mata istrinya, Fulan adalah orang bermental lembek yang menjadikan agama sebagai tempat berlindung atas kekurangan atau kesalahannya. Apabila tak mendapat rezeki, Fulan wiridan semalaman memanjatkan doa minta kaya. Terkadang menginap di kuburan menumpahkan tangis.
Sedikit pun tanpa upaya nyata untuk memulai bisnis baru. Entah sampai kapanmereka kukuh dalam pendirian masing-masing. Fulan yang kini balik ndeso menikmati statusnya sebagai Pak Haji. Sedang istrinya sendirian di kota, ngrumat sang ibu kandung yang telah pikun. Mereka tak pernah mau bertemu, meski Lebaran tiap tahun datang. Anak-anak mereka sungkem ke dua tempat berbeda jika Idul Fitri tiba.
Padahal dulu mereka adalah pasangan yang bahagia. Keduanya sama-sama menjadi tokoh di lingkungannya. Para tetangga iri dengan kemesraan dan keberhasilan mereka mendidik anak-anaknya.
Dari perkawinannya mereka dikaruniai dua anak lakilaki dan dua perempuan. Keempat anak mereka sehat dan cerdas, semua berprestasi di sekolah. Bahkan anak pertama dan kedua mendapat beasiswa kuliah dan mereka menjadi tokoh mahasiswa di kampusnya.
Rumah tangga Fulan mulai goyah saat ia bangkrut dari bisnis tembakau. Dagangannya di pasar sering rugi karena kalah bersaing. Karena tidak biasa jadi orang kalah, Fulan jadi malas bekerja karena merasa tak punya keahlian lain.
Untung, saat itu anak-anaknya telah keluar dari rumah menempuh pilihan hidup masing-masing.
Di tengah kemerosotan ekonomi keluarga itu, istri Fulan jadi gampang marah. Mengomel dan mencaci Fulan yang dianggap tak bisa menjamin nafkah. Tiap hari mereka bertengkar. Selama empat tahun mereka tak pernah bisa rukun. Namun istrinya menolak perceraian sebab ia hanya menuntut suaminya agar bekerja untuk mendapat rezeki.
Sementara Fulan merasa bosan dan tertekan batinnya mendapat omelan hampir setiap hari. Akhirnya lelaki ini menempuh jalan pintas: bercerai. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan jika ingin mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.