Tradisi Nyadran
Mengingatkan yang Hidup pada Kematian
MENJELANG bulan suci Ramadan, umat Islam ramai-ramai menyambutnya penuh sukacita. Semangatnya begitu besar, sehingga secara serius mempersiapkannya.
Berbagai acara pun diadakan. Terutama terkait ziarah kubur bersama. Dimulai membersihkah makam dari rerumputan liar dan sampah, lalu membacakan tahlil dan Surat Yasin, dilanjutkan bacaan kalimah thayyibah, dan diakhiri dengan berdoa kepada Allah agar mereka yang telah tiada senantiasa mendapat rahmat.
Ritus ini ditutup dengan acara padusan yang biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin sehari sebelum bulan Ramadan. “Pada minggu terakhir di bulan Ruwah, dilaksanakan tradisi nyadran atau ziarah massal,” kata Saryadi, tokoh masyarakat Lamper Kidul.
Menurut Saryadi, ruwahan merupakan upaya umat Islam bersiap diri menyambut sekaligus menjalankan ibadah puasa dengan menciptakan suasana religius, meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat, serta menyiapkan bekal keilmuannya.
Nur Wahid, pedagang perlengkapan ibadah di Pasar Johar yang dituakan di komunitasnya mengatakan, nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan umat Islam. Tradisi ini oleh Sultan Agung disebut ruwahan karena diadakan di bulan Ruwah atau arwah (jamak dari ruh). Sultan Agung membuat kalender Jawa dengan membuat nama lain dari bulan Sya’ban ini.
Bagi Wendy Andriyanto, pengusaha yang tinggal di Pucang Gading, orang kota yang hidup di alam serba modern sering lupa pada kematian. Bahkan mungkin tidak pernah ingat leluhur. Padahal mengingat mati merupakan salah satu tanda orang beriman atau tidak. Sedangkan mendoakan orang tua atau leluhur wajib hukumnya. Itu juga tanda orang soleh atau yang berakhlak.
“Orang modern harus diingatkan. Agar tidak hilang imannya dan terjaga akhlaknya. Bukankah orang yang mengaku Islam dituntut beriman dan beramal sholeh?’’ kata dia dengan nada tanya.
Ruwahan, menurut fungsonaris KNPI Jateng ini, menjadi wahana yang efektif untuk mengingatkan soal tersebut. Sekaligus menjadi syiar Islam yang menggugah kesadaran kolektif. Maka, orang-orang yang setiap hari sibuk dengan pekerjaan, jadi ingat kewajiban agamanya. Lalu siap lahir batin menjalankan ibadah puasa.
“Ruwahan menurut saya sangat penting untuk membuka ingatan kolektif masyarakat akan pentingnya menyambut bulan suci Ramadhan,” ujar dia.
Menurut Ary Budiyanto, pemerhati budaya Islam Jawa pada program doktoral Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada, semua rangkaian acara ruwahan bertolak dari keimanan agar mereka yang masih hidup mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi). Lantarannya dengan mengingat leluhur yang telah berada di alam kubur.
Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana) seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran (ziarah kubur) di bulan Ruwah.
“Ini adalah pengejawantahan dari hadis bahwa satu dari amal yang tidak putus walau orang telah wafat adalah doa anak yang saleh,” tutur Staf Riset Pusat Studi Pancasila UGM ini.
Lebih lanjut dia menguraikan, acara ritus bersih kampung, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: meugang)
adalah manifestasi silaturahim. Di mana semua keluarga, sanak saudara yang masih hidup saling berkunjung, saling meminta maaf dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasadengan jiwa yang suci penuh suka cita.
Biasanya isi hantaran tidak meninggalkan tiga makanan khas. Yakni ketan, kolak, dan apem. Sunan Kalijaga menciptakan tiga jenis makanan tersebut dari kata Arab khotho’an (kesalahan), khola’ (penghapusan) dan afwan (minta maaf).
Gabungan ketiganya berarti makhluk yang mengakui punya kesalahan dan meminta maaf agar terhapus dosanya di masa lalu. Adapun makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturrahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan penuh kemanisan; apem yang empuk mengisyaratkan betapa empuknya hati setelah saling memaafkan.
Dasar tradisi ruwahan, menurut Maskan, PNS di Departemen Agama berarti minta maaf, salah satunya dari sebuah hadis qudsi, berupa doa Malaikat Jibril; “Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad apabila sebelum memasuki bulan Ramadan dia belum memohon maaf kepada kedua orang tuanya, belum bermaafan antarsuami dan istri, belum bermaafan dengan handai taulan, dan belum bermaafan orang-orang di sekitar.
“Rasulullah mengamini tiga kali doa ini,” kata dia mengutip sebuah hadis qudsi. Terpisah, Zamroni, guru sebuah SMA swasta di Tugu mengatakan, dalam memaknai ruwahan tidak harus datang ke makam. Jika memang tidak sempat, cukup berdoa di rumah atau di masjid. Sedangkan permohonan maaf kepada handai taulan bisa lewat telepon atau sms.
“Saya tidak sempat ke makam leluhur maupun mudik ke kampung untuk ruwahan. Jadi saya ganti dengan berdoa, membaca Alquran, dan berkirim sms kepada kerabat untuk meminta maaf agar jiwa bersiap puasa,” kata perantauan dari Rembang ini. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalah gunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
MENJELANG bulan suci Ramadan, umat Islam ramai-ramai menyambutnya penuh sukacita. Semangatnya begitu besar, sehingga secara serius mempersiapkannya.
Berbagai acara pun diadakan. Terutama terkait ziarah kubur bersama. Dimulai membersihkah makam dari rerumputan liar dan sampah, lalu membacakan tahlil dan Surat Yasin, dilanjutkan bacaan kalimah thayyibah, dan diakhiri dengan berdoa kepada Allah agar mereka yang telah tiada senantiasa mendapat rahmat.
Ritus ini ditutup dengan acara padusan yang biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin sehari sebelum bulan Ramadan. “Pada minggu terakhir di bulan Ruwah, dilaksanakan tradisi nyadran atau ziarah massal,” kata Saryadi, tokoh masyarakat Lamper Kidul.
Menurut Saryadi, ruwahan merupakan upaya umat Islam bersiap diri menyambut sekaligus menjalankan ibadah puasa dengan menciptakan suasana religius, meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat, serta menyiapkan bekal keilmuannya.
Nur Wahid, pedagang perlengkapan ibadah di Pasar Johar yang dituakan di komunitasnya mengatakan, nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan umat Islam. Tradisi ini oleh Sultan Agung disebut ruwahan karena diadakan di bulan Ruwah atau arwah (jamak dari ruh). Sultan Agung membuat kalender Jawa dengan membuat nama lain dari bulan Sya’ban ini.
Bagi Wendy Andriyanto, pengusaha yang tinggal di Pucang Gading, orang kota yang hidup di alam serba modern sering lupa pada kematian. Bahkan mungkin tidak pernah ingat leluhur. Padahal mengingat mati merupakan salah satu tanda orang beriman atau tidak. Sedangkan mendoakan orang tua atau leluhur wajib hukumnya. Itu juga tanda orang soleh atau yang berakhlak.
“Orang modern harus diingatkan. Agar tidak hilang imannya dan terjaga akhlaknya. Bukankah orang yang mengaku Islam dituntut beriman dan beramal sholeh?’’ kata dia dengan nada tanya.
Ruwahan, menurut fungsonaris KNPI Jateng ini, menjadi wahana yang efektif untuk mengingatkan soal tersebut. Sekaligus menjadi syiar Islam yang menggugah kesadaran kolektif. Maka, orang-orang yang setiap hari sibuk dengan pekerjaan, jadi ingat kewajiban agamanya. Lalu siap lahir batin menjalankan ibadah puasa.
“Ruwahan menurut saya sangat penting untuk membuka ingatan kolektif masyarakat akan pentingnya menyambut bulan suci Ramadhan,” ujar dia.
Menurut Ary Budiyanto, pemerhati budaya Islam Jawa pada program doktoral Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada, semua rangkaian acara ruwahan bertolak dari keimanan agar mereka yang masih hidup mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi). Lantarannya dengan mengingat leluhur yang telah berada di alam kubur.
Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana) seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran (ziarah kubur) di bulan Ruwah.
“Ini adalah pengejawantahan dari hadis bahwa satu dari amal yang tidak putus walau orang telah wafat adalah doa anak yang saleh,” tutur Staf Riset Pusat Studi Pancasila UGM ini.
Lebih lanjut dia menguraikan, acara ritus bersih kampung, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: meugang)
adalah manifestasi silaturahim. Di mana semua keluarga, sanak saudara yang masih hidup saling berkunjung, saling meminta maaf dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasadengan jiwa yang suci penuh suka cita.
Biasanya isi hantaran tidak meninggalkan tiga makanan khas. Yakni ketan, kolak, dan apem. Sunan Kalijaga menciptakan tiga jenis makanan tersebut dari kata Arab khotho’an (kesalahan), khola’ (penghapusan) dan afwan (minta maaf).
Gabungan ketiganya berarti makhluk yang mengakui punya kesalahan dan meminta maaf agar terhapus dosanya di masa lalu. Adapun makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturrahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan penuh kemanisan; apem yang empuk mengisyaratkan betapa empuknya hati setelah saling memaafkan.
Dasar tradisi ruwahan, menurut Maskan, PNS di Departemen Agama berarti minta maaf, salah satunya dari sebuah hadis qudsi, berupa doa Malaikat Jibril; “Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad apabila sebelum memasuki bulan Ramadan dia belum memohon maaf kepada kedua orang tuanya, belum bermaafan antarsuami dan istri, belum bermaafan dengan handai taulan, dan belum bermaafan orang-orang di sekitar.
“Rasulullah mengamini tiga kali doa ini,” kata dia mengutip sebuah hadis qudsi. Terpisah, Zamroni, guru sebuah SMA swasta di Tugu mengatakan, dalam memaknai ruwahan tidak harus datang ke makam. Jika memang tidak sempat, cukup berdoa di rumah atau di masjid. Sedangkan permohonan maaf kepada handai taulan bisa lewat telepon atau sms.
“Saya tidak sempat ke makam leluhur maupun mudik ke kampung untuk ruwahan. Jadi saya ganti dengan berdoa, membaca Alquran, dan berkirim sms kepada kerabat untuk meminta maaf agar jiwa bersiap puasa,” kata perantauan dari Rembang ini. (ichwan_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalah gunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.