Gerakan Humanisme Gus Dur
KAUM Tionghoa punya ritual khusus untuk mengekspresikan rasa cintanya yang teramat besar terhadap pengayom dan pembela mereka, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Terhadap sosok humanis itu, digelarlah acara doa bersama pada hari ke-49 bertepatan dengan “Sie Cap Kauw Jiet” dalam kepercayaan mereka. Acara berlangsung di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, kemarin.
Doa bersama diawali pertunjukan kesenian dari agama Hindu yang menampilkan Tari Pendet. Lalu paduan suara dari agama Katolik yang dipimpin Romo Aloysius Budi Purnomo dengan iringan saxophone.
Dua kelompok paduan suara tersebut menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, dan Gugur Bunga. demikian pula umat Buddha dan Konghucu juga menampilkan paduan suara.
Dalam acara doa bersama yang dihadiri putri pertama Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh dan Umar Wahid, adik kandung Gus Dur, perwakilan masing-masing agama berdoa dengan khidmat.
Panitia berasal dari kaum Tionghoa dibantu aktivis NU dan para kiai. Di antaranya HM Mahsun dan KH Zaenal Abidin yang turut memimpin doa. Di antara doa yang “heboh” adalah paparan Pastur Budi Purnomo Pr. Dia menyebut Gus Dur sebagai ‘’Rasul’’ yang seumur hidupnya menebar kasih dan sayang kepada seluruh umat manusia. Sebagai imam umat Katolik Keuskupan Agung Semarang, dia mengaku sebagai santri atau makmum Gus Dur.
“Gus Dur membawa berkat bagi kami. Sangat banyak pengayoman beliau sehingga kami menilai itu sebuah nubuwat,” tutur alumnus Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Dalam acara tersebut dideklarasikan Gerakan Pluralisme dan Humanisme Gus Dur yang akan dilengkapi Gus Dur Center, semacam wadah untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan Gus Dur di segala bidang. Piagam deklarasi ditandatangani seluruh perwakilan agama dan penganut kepercayaan.
Ketua Panitia Dr Nelwan yang juga penggagas Gus Dur Center mengatakan, semangat perkumpulan itu ingin meneladani Gus Dur yang selalu meletakkan agama dalam bingkai keindonesiaan.
“Gus Dur secara bijaksana pernah mengatakan ‘Saya adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam dan bersuku Jawa’. Bukan sebaliknya. Ini menunjukkan Gus Dur sangat mendambakan persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya seraya mengajak hadirin berdiri menghormat ke foto Gus Dur yang ditempel di depan altar.
Sementara itu, Alyssa tak kuasa menahan tangis kala diminta menyampaikan sambutan. Dengan terbata-bata dia berkata, kami sekeluarga sudah ikhlas dan tidak cengeng atas wafatnya bapak.
Tapi setiap melihat banyaknya orang dari berbagai elemen berkumpul mendoakan bapak, seperti sekarang ini, saya tak kuasa menahan air mata,” tuturnya terisak-isak.
Dalam keharuannya dia juga menyampaikan, Gus Dur begitu dicintai banyak orang karena menurut Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Gus Dur mencintai, menghormati dan menghargai semua orang.
“Beliau sangat berani dan konsisten dalam memperjuangkan pemikirannya bahwa setiap manusia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Perbedaan keyakinan, agama, suku, dan sebagainya bukan alasan untuk berbuat tidak adil,” tegasnya masih dalam tangis lalu membacakan puisi berjudul “Ya Tuhan, Pelajaran Apa Ini?” karya KH Mustofa Bisri yang ditulis sehari setelah Gus Dur wafat.
Soal Patung Di sela-sela acara, Alisa yang dikerubuti wartawan mengaku tidak mempersoalkan munculnya karya patung KH Abdurrahman Wahid yang menyerupai Budha Gautama. Hanya saja dirinya mengaku khawatir munculnya pengultusan terhadap Gus Dur. Tapi dia percaya masyarakat Indonesia cukup arif memilih cara mengekspresikan cintanya pada Gus Dur.
“Itu salah satu keunikan Gus Dur, banyak orang memiliki hubungan yang sifatnya personal. Sehingga banyak orang mempunyai cara unik mengekspresikan semangat Gus Dur dalam dirinya,” tuturnya.
Patung yang dibuat Cipto Purnomo (29) dari Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) itu berjudul “Mata Hati Gus Dur” dan menyerupai tubuh Budha Gautama sedang bersemedi. Wajahnya berwujud Gus Dur dan di dada ada lubang lampu warna hijau. Patung yang akhirnya menimbulkan pro dan kontra tersebut dirilis di Studio Mendut dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur. (ikhwan/puji-harian semarang)
Dua kelompok paduan suara tersebut menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, dan Gugur Bunga. demikian pula umat Buddha dan Konghucu juga menampilkan paduan suara.
Dalam acara doa bersama yang dihadiri putri pertama Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh dan Umar Wahid, adik kandung Gus Dur, perwakilan masing-masing agama berdoa dengan khidmat.
Panitia berasal dari kaum Tionghoa dibantu aktivis NU dan para kiai. Di antaranya HM Mahsun dan KH Zaenal Abidin yang turut memimpin doa. Di antara doa yang “heboh” adalah paparan Pastur Budi Purnomo Pr. Dia menyebut Gus Dur sebagai ‘’Rasul’’ yang seumur hidupnya menebar kasih dan sayang kepada seluruh umat manusia. Sebagai imam umat Katolik Keuskupan Agung Semarang, dia mengaku sebagai santri atau makmum Gus Dur.
“Gus Dur membawa berkat bagi kami. Sangat banyak pengayoman beliau sehingga kami menilai itu sebuah nubuwat,” tutur alumnus Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Dalam acara tersebut dideklarasikan Gerakan Pluralisme dan Humanisme Gus Dur yang akan dilengkapi Gus Dur Center, semacam wadah untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan Gus Dur di segala bidang. Piagam deklarasi ditandatangani seluruh perwakilan agama dan penganut kepercayaan.
Ketua Panitia Dr Nelwan yang juga penggagas Gus Dur Center mengatakan, semangat perkumpulan itu ingin meneladani Gus Dur yang selalu meletakkan agama dalam bingkai keindonesiaan.
“Gus Dur secara bijaksana pernah mengatakan ‘Saya adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam dan bersuku Jawa’. Bukan sebaliknya. Ini menunjukkan Gus Dur sangat mendambakan persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya seraya mengajak hadirin berdiri menghormat ke foto Gus Dur yang ditempel di depan altar.
Sementara itu, Alyssa tak kuasa menahan tangis kala diminta menyampaikan sambutan. Dengan terbata-bata dia berkata, kami sekeluarga sudah ikhlas dan tidak cengeng atas wafatnya bapak.
Tapi setiap melihat banyaknya orang dari berbagai elemen berkumpul mendoakan bapak, seperti sekarang ini, saya tak kuasa menahan air mata,” tuturnya terisak-isak.
Dalam keharuannya dia juga menyampaikan, Gus Dur begitu dicintai banyak orang karena menurut Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Gus Dur mencintai, menghormati dan menghargai semua orang.
“Beliau sangat berani dan konsisten dalam memperjuangkan pemikirannya bahwa setiap manusia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Perbedaan keyakinan, agama, suku, dan sebagainya bukan alasan untuk berbuat tidak adil,” tegasnya masih dalam tangis lalu membacakan puisi berjudul “Ya Tuhan, Pelajaran Apa Ini?” karya KH Mustofa Bisri yang ditulis sehari setelah Gus Dur wafat.
Soal Patung Di sela-sela acara, Alisa yang dikerubuti wartawan mengaku tidak mempersoalkan munculnya karya patung KH Abdurrahman Wahid yang menyerupai Budha Gautama. Hanya saja dirinya mengaku khawatir munculnya pengultusan terhadap Gus Dur. Tapi dia percaya masyarakat Indonesia cukup arif memilih cara mengekspresikan cintanya pada Gus Dur.
“Itu salah satu keunikan Gus Dur, banyak orang memiliki hubungan yang sifatnya personal. Sehingga banyak orang mempunyai cara unik mengekspresikan semangat Gus Dur dalam dirinya,” tuturnya.
Patung yang dibuat Cipto Purnomo (29) dari Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) itu berjudul “Mata Hati Gus Dur” dan menyerupai tubuh Budha Gautama sedang bersemedi. Wajahnya berwujud Gus Dur dan di dada ada lubang lampu warna hijau. Patung yang akhirnya menimbulkan pro dan kontra tersebut dirilis di Studio Mendut dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur. (ikhwan/puji-harian semarang)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.