Ingin Naik Haji dari Hasil Pecahan Kaca

”Saya Petani, Sambilannya Pemulung”

Ingin naik haji dari hasil mengais sampah adalah cita-cita Saiful.

DI antara pemulung yang menyusuri jalanan di Kota Semarang, ada yang spesialis mencari barang bekas tertentu. Salah satunya Saiful (50). Lelaki paruh baya yang kulitnya legam terbakar matahari ini spesialis memungut kaca. Lewat tangannya, volume 4.500 kubik sampah atau 300 ton yang dibuang warga kota ini, berkurang cukup signifikan. Sebab tak kurang satu hingga dua kuintal beling dia angkut setiap hari. Apesapesnya setengah kuintal.

Sejak pukul 05.00 pagi, kala fajar baru merekah, dia keluar dari rumahnya di Pancawati, Demak Kota. Naik bus dia menuju Kota Semarang. Kakinya menyusuri jalan-jalan kampung dan perumahan. Setiap tempat sampah dia hampiri. Sudut-sudut pagar maupun dinding bangunan dia pelototi. Terlebih pekarangan kosong yang banyak sampah. Sertamerta dia datangi.

Tujuannya cuma satu, mencari pecahan kaca. Dia bongkar tong sampah, dijungkirkan setiap benda yang tampak terbuang. Berharap ada beling di dalamnya. Baginya, setiap inci benda tajam berkilau itu adalah “mutiara”. Sebab jelas tergambar lembaran uang yang akan dia bawa pulang.

Tak peduli kaca sudah remuk atau agak utuh, yang bening maupun aneka warna, dia ambil lalu dimasukkan ke bronjong yang ada di “kendaraan dinasnya”, yaitu sepeda onthel. Sepasang anyaman bambu bervolume satu kubik itu menampung kaca yang dia serok atau krawuk memakai tangan.

Kaus tangan dipakainya untuk menghindari luka tersayat. Tempat memulung paling favorit adalah kawasan Bubakan, Mataram dan Halmahera di Kecamatan Semarang Timur. Sebab di situ banyak industri rumahan berbahan kaca dan banyak bengkel mobil kelas kaki lima.

Biasanya, jam 15.00 dia sudah selesai “beroperasi”. Hasil pungutannya dia jual ke pengepul di kawasan Jalan Barito. Per kilogramnya dihargai Rp 300. Walhasil, Saiful mendapat uang Rp 30 ribu hinga Rp 60 ribu per hari. Uang itu jika dikurangi biaya ongkos dan makan siang, bisa dia berikan Rp 15 ribu-Rp 45 ribu kepada istrinya.

Namun jika apes, hanya mendapat setengah kuintal atau kurang, terpaksa dia tak bisa pulang. Sebab ongkos angkutan pulang pergi Rp 10 ribu. Terpaksa dia menginap di tempat penitipan sepedanya di kawasan Citarum. Untungnya, penginapannya gratis karena hanya tidur di bale bambu rumah kosong yang dimanfaatkan orang untuk menjual jasa penitipan gerobak dan sepeda.

Selain memulung, ayah tiga anak ini juga menjadi pengepul di kampungnya. Dia terima kaca dari para pemulung sekitar rumahnya. Namun harga kaca sering naik turun sewaktuwaktu. Sehingga kadangkala dia merugi tatkala menjual kaca hasil kepulannya. Pernah dia borong setengah ton kaca seharga Rp 250 per kilo, tapi ketika dibawa ke Semarang hanya laku seharga Rp 200 per kg.

Uniknya, meski telah 10 tahun profesi itu dia lakoni, pekerja keras ini lebih senang mengaku petani. Sebab dia punya sawah dan digarap sendiri. “Menjadi pemulung kaca itu pekerjaan sampingan saya,” tuturnya.

Hamba yang selalu berprinsip nafkah harus halal dan selalu bersyukur atas rezeki ini mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Tiga anaknya semuanya sekolah. Pertama di Madrasah Aliyah, kedua di SMP, dan ketiga di SD.

Dari pekerjaannya mengais beling, Saiful bercita-cita bisa berangkat haji. Ibadah puncak bagi seorang muslim itu, kata dia, menjadi idam-idamannya bersama sang istri. (ichwan-harian semarang)

Newer Post Older Post