Kelainan Suami Sengsarakan Istri
BAGI umumnya wanita, perkawinan hanya diinginkan sekali saja. Perjanjian yang kuat dalam lembaga nikah itu dinilai sakral dan sangat diharapkan bahagia.
Namun seringkali impian indah itu jauh dari kenyataan. Seperti dialami Ela (31), salah satu penjaga toko di Pasar Johar yang namanya disamarkan. Dia pikir nikahnya dengan Gudel (36), nama samaran, akan langgeng. Tak dinyana, derita siksa didapatnya.
Saat itu Ela kenal dengan lelaki yang menurutnya tampak baik dan perhatian. Matanya buta oleh cinta saat hatinya berbunga-bunga.
Namun pacar yang kemudian jadi suaminya itu, seorang sopir angkot jurusan Mangkang– Penggaron, seperti binatang buas haus darah. Sebab menderita kelainan seksual dan memperlakukan istri sebagai budak.
Namun seringkali impian indah itu jauh dari kenyataan. Seperti dialami Ela (31), salah satu penjaga toko di Pasar Johar yang namanya disamarkan. Dia pikir nikahnya dengan Gudel (36), nama samaran, akan langgeng. Tak dinyana, derita siksa didapatnya.
Saat itu Ela kenal dengan lelaki yang menurutnya tampak baik dan perhatian. Matanya buta oleh cinta saat hatinya berbunga-bunga.
Namun pacar yang kemudian jadi suaminya itu, seorang sopir angkot jurusan Mangkang– Penggaron, seperti binatang buas haus darah. Sebab menderita kelainan seksual dan memperlakukan istri sebagai budak.
Setiap berhubungan badan, Gudel terlebih dulu menyiksa. Menjambak, memukul, menampar. Bahkan membenturkan kepada Ela ke tembok berkali-kali. Ia merasa puas jika “bermain” sambil menyiksa. Semakin keras jerit kesakitan istinya, semakin dirasa nikmat baginya.
Tak terhitung luka-luka di tubuh Ela akibat siksaan suaminya itu. Dan penyakit sadomasochis Gudel terus tersalur seimbang dengan nafsunya yang besar. Ditunjang kebiasaannya mabuk, Gudel tak pantas disebut manusia setiap kali meminta layanan seks istrinya.
Ela bagai hidup dalam neraka. Di luar urusan ranjang, Gudel memperlakukan dia seperti budak. Main suruh tanpa peduli apapun keadaan istri. Tragisnya sikap diam Ela, membuat Gudel semakin nglunjak. Berikutnya, Gudel tak peduli tanggungjawabnya sebagai pencari nafkah.
Meski telah dua tahun usia pernikahan mereka, Ela masih mencoba bertahan. Dia berharap suaminya sembuh jika perutnya bisa hamil. Gembira hatinya ketika pada suatu hari ia mengetahui telah hamil.
Namun ketika hal itu diberitahukan kepada suaminya, bukan raut senyum yang diperoleh. Melainkan tuduhan keji yang sangat menyakitkan hati. Gudel menuding kandungan itu bukan berasal dari benihnya. Dia tidak mengakui kalau janin di perut Ela sebagai anaknya.
Ia berkata tidak mungkin bisa membuat hamil Ela. Baginya suatu kemustahilan bisa mempunyai anak. Argumen tanpa dasar itu diucapkan secara ngawur. Lalu Gudel jarang pulang. Satu sisi Ela terkurangi deraan siksa, di sisi lain dia tak tak didampingi suami, hingga melahirkan anak laki-laki.
Ia rawat sendirian bayinya. Tak peduli lagi dia pada suaminya. Hingga empat tahun suasana saling cuek itu terjadi. Sampai pada suatu hari, Gudel pulang dalam keadaan mabuk. Melihat anaknya sedang bermain sendirian, entah kemasukan setan dari mana, tiba-tiba ia memukul anak kecil yang tak berdosa itu.
Tentu saja Ela tidak terima atas perlakuan suaminya. Tetapi marahnya justru ditimpali kemarahan lebih keras.
Suaminya bahkan gantian memukuli dia. Saat itulah kesabarannya habis. Maka ia nekat menggugat cerai. Di sidang pertamanya di kantor pengadilan agama (PA), dia meminta hakim mengabulkan keinginannya. (Ezta/ichwan-harian semarang)
Tak terhitung luka-luka di tubuh Ela akibat siksaan suaminya itu. Dan penyakit sadomasochis Gudel terus tersalur seimbang dengan nafsunya yang besar. Ditunjang kebiasaannya mabuk, Gudel tak pantas disebut manusia setiap kali meminta layanan seks istrinya.
Ela bagai hidup dalam neraka. Di luar urusan ranjang, Gudel memperlakukan dia seperti budak. Main suruh tanpa peduli apapun keadaan istri. Tragisnya sikap diam Ela, membuat Gudel semakin nglunjak. Berikutnya, Gudel tak peduli tanggungjawabnya sebagai pencari nafkah.
Meski telah dua tahun usia pernikahan mereka, Ela masih mencoba bertahan. Dia berharap suaminya sembuh jika perutnya bisa hamil. Gembira hatinya ketika pada suatu hari ia mengetahui telah hamil.
Namun ketika hal itu diberitahukan kepada suaminya, bukan raut senyum yang diperoleh. Melainkan tuduhan keji yang sangat menyakitkan hati. Gudel menuding kandungan itu bukan berasal dari benihnya. Dia tidak mengakui kalau janin di perut Ela sebagai anaknya.
Ia berkata tidak mungkin bisa membuat hamil Ela. Baginya suatu kemustahilan bisa mempunyai anak. Argumen tanpa dasar itu diucapkan secara ngawur. Lalu Gudel jarang pulang. Satu sisi Ela terkurangi deraan siksa, di sisi lain dia tak tak didampingi suami, hingga melahirkan anak laki-laki.
Ia rawat sendirian bayinya. Tak peduli lagi dia pada suaminya. Hingga empat tahun suasana saling cuek itu terjadi. Sampai pada suatu hari, Gudel pulang dalam keadaan mabuk. Melihat anaknya sedang bermain sendirian, entah kemasukan setan dari mana, tiba-tiba ia memukul anak kecil yang tak berdosa itu.
Tentu saja Ela tidak terima atas perlakuan suaminya. Tetapi marahnya justru ditimpali kemarahan lebih keras.
Suaminya bahkan gantian memukuli dia. Saat itulah kesabarannya habis. Maka ia nekat menggugat cerai. Di sidang pertamanya di kantor pengadilan agama (PA), dia meminta hakim mengabulkan keinginannya. (Ezta/ichwan-harian semarang)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.