SPG Plus, antara Ada dan Tiada
Siapa sih yang Tak Butuh Uang?
Sudah terlalu sering orang membicarakan keberadaan sales promotion girl (SPG) yang bisa diajak kencan alias SPG plus. Tetapi keberadaan mereka seperti ada dan tiada. Butuh kepiawaian khusus untuk memburunya.
BOLEH saja kalangan sales promotion girl (SPG) bilang profesinya netral sebagaimana bidang pekerjaan lain. Sah saja berkata soal moral tergantung masing-masing orang.
Tetapi bagi Eva (28), SPG senior di Kota Semarang yang namanya disamarkan, konon tak bisa dipungkiri bahwa memang sangat langka ada SPG yang tidak “bisa dipakai” (bispak). Di tengah budaya permisif, lingkungan hedonis dan dunia yang serba materialistis begini, sangat sulit bagi wanita yang “menjajakan barang dengan kemolekan tubuh” untuk tidak mau menerima ajakan pria berduit.
“Zaman sekarang mana ada SPG yang tidak mau uang dari menjual nikmat sesaat. Wong modal awalnya saja keberanian membuka aurat dan hanya mengandalkan tubuh,” tutur wanita berkulit putih mulus dengan tinggi badan 170 dan berat badan 54 kilogram ini.
Tetapi bagi Eva (28), SPG senior di Kota Semarang yang namanya disamarkan, konon tak bisa dipungkiri bahwa memang sangat langka ada SPG yang tidak “bisa dipakai” (bispak). Di tengah budaya permisif, lingkungan hedonis dan dunia yang serba materialistis begini, sangat sulit bagi wanita yang “menjajakan barang dengan kemolekan tubuh” untuk tidak mau menerima ajakan pria berduit.
“Zaman sekarang mana ada SPG yang tidak mau uang dari menjual nikmat sesaat. Wong modal awalnya saja keberanian membuka aurat dan hanya mengandalkan tubuh,” tutur wanita berkulit putih mulus dengan tinggi badan 170 dan berat badan 54 kilogram ini.
Kepada Harsem dia wantiwanti jangan ditulis alamat rumahnya. Bahkan untuk sekadar nama kecamatannya. Namun dengan berterus terang dia mengaku, menjadi SPG sekaligus wanita panggilan adalah keniscayaan pergaulan. Ia sadar sepenuhnya atas hal itu. Baginya, tak usah menutupi motif dengan berbagai alasan. Entah terpaksa, tertipu atau karena terlanjur ternoda.
Setiap SPG, terutama yang seperti dirinya, dijamin tak bisa menjawab jika ditanya apakah seks itu nikmat, uang itu menyenangkan, dipuja dan dirayu itu membuat mabuk kepayang? Ataupun, apakah diajak kencan pejabat maupun tokoh terkenal itu bukan kebanggaan? Menurut ibu satu anak ini, baik PSG maupun pelanggannya sama-sama membutuhkan.
Sebagaimana laki-laki dan perempuan saling butuh perhatian. Bedanya, di dunia esek-esek komersial terjadi transaksi tanpa hati. Tetapi perasaan tetap ada. “Yaitu perasaan senang ha ha haaaaa..,” tuturnya santai sambil menunjukkann “daftar pelanggan” di pesawat HP-nya.
Penikmat goyangannya, rata-rata kelas elit. Umumnya lelaki perperut buncit. Dan Eva memang membatasi, yang boleh meminta layanan “pijatnya” hanya orang bermobil dan hanya mau diajak “bermain” di hotel berbintang. Tarifnya, dipatok minimal Rp 1 juta semalam. Namun jika “pemakai” lebih dari satu orang, dia minta dibayar paling sedikit Rp 3 juta.
“Etnis tertentu sering mengajak main model gang bang,” katanya sambil cekikikan.
Jika dilihat wajahnya, sebenarnya Eva tidak terlalu cantik. Bisa dibilang standar saja seperti para peragawati yang tidak mesti cantik. Namun senioritasnya dalam “bursa efek” di Semarang, membuatnya dikenal sebagai SPG plus-plus. Tak lain karena pelayanannya jempolan.
Menurut pengakuan para pelanggan, kata dia mengutip salah satu isi SMS yang masuk ke nomornya, “maine puinter bwanget”. “Sangat-sangat memuaskan”.
Apakah keluarganya tahu? Seratus persen tahu dan setuju. Tanpa beban Eva memberikan hasil kerja menjual keringat itu kepada keluarganya. Baik suami, ibu bapak, adik-kakak maupun anak lelakinya. Maklum dia tinggal di rumah orang tuanya.
Tak ditutupinya, keluarganya memang tak punya ikatan moral kuat. Ayahnya meski seorang PNS, suka madon dan mabuk. Ibunya sendiri, akrab dengan minuman keras dan rokok. Kakak maupun adikadiknya, termasuk yang masih siswi SMP, tak kalah heboh. Seks bebas tanpa batas.
Suaminya, huh, justru menikmati nafkah darinya. Semakin laris panggilan masuk, semakin senang. Karenanya, suaminya rela momong anak seharian. Dan hanya suaminya yang tidak ngawur mengumbar syahwat.
“Sebab dia penakut,” ringik Eva sambil tertawa.
Sebagai bukti dukungan keluarganya, kata dia, setiap ada “panggilan”, anggota keluarganya mengantar ke tempat penikmatnya telah menunggu dalam mobil. Biasanya di pinggir jalan besar ujung gang rumahnya. (ichwan-harian semarang)
Setiap SPG, terutama yang seperti dirinya, dijamin tak bisa menjawab jika ditanya apakah seks itu nikmat, uang itu menyenangkan, dipuja dan dirayu itu membuat mabuk kepayang? Ataupun, apakah diajak kencan pejabat maupun tokoh terkenal itu bukan kebanggaan? Menurut ibu satu anak ini, baik PSG maupun pelanggannya sama-sama membutuhkan.
Sebagaimana laki-laki dan perempuan saling butuh perhatian. Bedanya, di dunia esek-esek komersial terjadi transaksi tanpa hati. Tetapi perasaan tetap ada. “Yaitu perasaan senang ha ha haaaaa..,” tuturnya santai sambil menunjukkann “daftar pelanggan” di pesawat HP-nya.
Penikmat goyangannya, rata-rata kelas elit. Umumnya lelaki perperut buncit. Dan Eva memang membatasi, yang boleh meminta layanan “pijatnya” hanya orang bermobil dan hanya mau diajak “bermain” di hotel berbintang. Tarifnya, dipatok minimal Rp 1 juta semalam. Namun jika “pemakai” lebih dari satu orang, dia minta dibayar paling sedikit Rp 3 juta.
“Etnis tertentu sering mengajak main model gang bang,” katanya sambil cekikikan.
Jika dilihat wajahnya, sebenarnya Eva tidak terlalu cantik. Bisa dibilang standar saja seperti para peragawati yang tidak mesti cantik. Namun senioritasnya dalam “bursa efek” di Semarang, membuatnya dikenal sebagai SPG plus-plus. Tak lain karena pelayanannya jempolan.
Menurut pengakuan para pelanggan, kata dia mengutip salah satu isi SMS yang masuk ke nomornya, “maine puinter bwanget”. “Sangat-sangat memuaskan”.
Apakah keluarganya tahu? Seratus persen tahu dan setuju. Tanpa beban Eva memberikan hasil kerja menjual keringat itu kepada keluarganya. Baik suami, ibu bapak, adik-kakak maupun anak lelakinya. Maklum dia tinggal di rumah orang tuanya.
Tak ditutupinya, keluarganya memang tak punya ikatan moral kuat. Ayahnya meski seorang PNS, suka madon dan mabuk. Ibunya sendiri, akrab dengan minuman keras dan rokok. Kakak maupun adikadiknya, termasuk yang masih siswi SMP, tak kalah heboh. Seks bebas tanpa batas.
Suaminya, huh, justru menikmati nafkah darinya. Semakin laris panggilan masuk, semakin senang. Karenanya, suaminya rela momong anak seharian. Dan hanya suaminya yang tidak ngawur mengumbar syahwat.
“Sebab dia penakut,” ringik Eva sambil tertawa.
Sebagai bukti dukungan keluarganya, kata dia, setiap ada “panggilan”, anggota keluarganya mengantar ke tempat penikmatnya telah menunggu dalam mobil. Biasanya di pinggir jalan besar ujung gang rumahnya. (ichwan-harian semarang)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.