Berita

[Berita][bleft]

Artikel

[Ekonomi][twocolumns]

Kopiah

Catatan Moh Ichwan
Wartawan Harsem

SATU benda yang pasti ikut laris di Bulan Ramadan adalah kopiah. Penutup kepala nama lain peci, songkok, atau kethu ini sering ditampilkan dalam kartu lebaran bersamaan dengan tasbih atau kupat.

Foto-foto atau grafis yang menggambarkan bulan suci maupun Idul Fitri, hampir pasti menampilkan sosok hitam (atau putih) ini sebagai simbol peribadatan. Simbol takwa.

Di negeri kita kopiah kadung diperlakukan sebagai benda terhormat. Bukan hanya karena tempatnya di kepala, tetapi karena label religiusnya itu. Apalagi jika pemakainya sudah haji. Dengan warna kopiah ganti putih, atribut kesucian itu bertambah kuat.

Di kalangan santri, wajib hukumnya memakai kopiah. Bukan wajib dalam arti fiqih, tapi wejangan kiai yang terus dipakai hingga sudah boyong dari pondok. Seorang lelaki tidak patut mengaku santri jika tidak memakai kopiah, sebagaimana perempuan tidak mengenakan jilbab.

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim memang disebutkan, seorang yang sedang menuntut ilmu harus selalu mengenakan tutup kepala. Di mana pun berada. Dasarnya, Nabi Muhammad selalu mengenakan penutup kepala di mana pun berada. Jelas, beliau adalah teladan nan sempurna.

Memang, ada pengaruh secara kejiwaan (psikis) yang nyata. Seorang pemuda memakai peci cenderung segan berada di tempat yang tidak patut. Apalagi jika juga memakai sarung. Hampir tidak mungkin mendatangi diskotek atau kafe remang-remang. Dia pasti ingat kalau sedang memakai atribut ibadah.

Di mata umat, kedudukan peci amatlah mulia. Ia menjadi simbol kesalehan seseorang. Politisi atau calon bupati, bisa dipastikan mengenakan kopiah. Agar dinilai orang saleh dan karenanya layak dipilih.

Anehnya kita, sering mudah terpedaya dengan aksi tipu-tipu seperti itu. Begitu mudahnya kita terlena dengan pencitraan diri si calon, lalu kita coblos saja gambar pecinya dengan mantap sambil mengucap bismillah.

Tengoklah pula ruang sidang pengadilan. Semua terdakwa hampir pasti memakai baju putih lengan panjang (umumnya baju Koko), dan mengenakan kopiah. Baik secara sukarela atau disuruh pak jaksa. Harapannya, majelis hakim akan iba dan meringankan hukumannya. Karena telah insyaf dan kembali menjadi hamba Tuhan yang baik.

Kalau yang diadili maling kelas teri mungkin kita bisa percaya dia telah sadar. Tapi kalau koruptor yang berkopiah, sulit menyebut aksi itu bukan tipu-tipu. Tangisnya saja semu, air matanya buaya. Dan hakim bukanlah malaikat. Mereka banyak yang memainkan pasal dan melahirkan mafia hukum. Istilahnya KUHP; Kasih Uang Habis Perkara. Oh, kopiah...

Sebagai bangsa, kita mungkin bangga. Semua pakaian adat suku-suku ada penutup kepalanya. Sangat jelas kalau kita bukan orang Barat yang membiarkan kepala terbuka.

Pada masa pergerakan nasional, para tokohnya masih memakai jarik dan blangkon. Seiring bergeloranya semangat persatuan, atribut yang dekat dengan tradisi priyayi atau aristokrat ini disingkirkan. Terlebih ketika gerakan waktu itu bersemangat sama rata sama rasa, segala bentuk feodalisme --paham yang mengagungagungkan pangkat dan jabatan tanpa prestasi kerja— dibuang. Tokoh idola waktu itu, Haji Oemar Said Tjokroaminoto memakai kopiah, yang lantas menjalar di kalangan aktivis. Termasuk muridnya, Soekarno.

Sejak saat itu kopiah yang semula tradisi pesantren menjadi songkok nasional. Identitas keindonesiaan. Atribut perjuangan. Lihat saja beda prajurit Indonesia dengan tentara Eropa. Penutup kepalanya di dalam ruangan adalah peci. Kopiah di samping simbol Islamisme, oleh Soekarno dijadikan simbol patriotisme dan nasionalisme. Mampu membedakan mana priyayi prorakyat, atau kolaborator Belanda. Mana borjuis dan kabir (kapitalis birokrat), mana pembela kaum proletar. Mana antek Belanda setan-setan desa (dan kota), mana pengamal Pancasila. Merdeka!

Topi terbuat dari kain beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6-12 cm ini, bila dipandang dari segi bentuk merupakan modifikasi blangkon Jawa dengan surban Arab. Ada yang bilang modifikasi torbus Turki dengan peci India.

Konon Sunan Kalijaga yang merintisnya. Dia buatkan mahkota khusus untuk Sultan Fatah. Namanya kuluk. Bentuknya jauh lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V. Kuluk ini mirip kopiah, hanya ukurannya lebih gede. Hal itu agar sesuai ajaran Islam yang egaliter. Raja dan rakyat sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Hanya ketakwaan yang membedakan. Selamat berpuasa. Selamat meraih takwa dengan kopiah Anda.***
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.


Desakundi

[Desakundi][threecolumns]

Pendidikan

[Pendidikan][list]

Ekonomi

[Ekonomi][grids]

Politik

[Politik][bsummary]

Oase

[Oase][threecolumns]
Create gif animations. Loogix.com. Animated avatars. Animated avatar. Motley Animated avatar. Gif animator. Animated avatar. Gif animator. Zoom Gif animator. Motley Create gif animations. Zoom Animated avatar. Movie Create gif animations. Gif animator. Zoom Animated avatar. Loogix.com. Animated avatars. Negative Animated avatar. Zoom Rumah Zakat Animated avatar. Negative Babyface, Harian Semarang liquid executive club, tonitok rendezvous