Puji-pujian
”Allahumma sholli ala Muhammad. Ya Robbi Sholli ’alaihi wa sallim. Gusti Kanjeng Nabi lahire ana ing Mekah, Dina Senen Rolas Mulud taun Gajah, Ingkang Ibu asmane Siti Aminah, Ingkang Rama asmane Sayyid Abdullah, Ayo para kanca padha shalat jamaah. Berjamaah nyembah maring Gusti Allah...”
SYAIR merdu itu terdengar jelas dari speaker masjid kampung saya usai kumandang adzan yang membahana. Syair puji-pujian itu biasa didendangkan Mbah Hamdan yang ajek berpuasa atau Kang Hamdi yang tunanetra.
Sementara dari langgar kampung, sayup-sayup terdengar syair Kereta Jawa. Mengingatkan orang akan kematian dan ajakan untuk mengingat dosa. Di mushola lain, terdengar syair 20 Sifat Wajib Allah subhanahu wata’ala.
Seisi kampung senang mendengarnya. Yang masih di sawah atau di rumah, yang sedang sibuk maupun lelah, yang sehat maupun sedang terbaring lemah, semua menikmati alunannya. Orang-orang bergegas menuju mushola atau masjid. Saat adzan dikumandangkan, mereka berkemas-kemas; mengambil sarung, kopiah, dan bersuci di kamar mandi. Juga berwudhu atau sekaligus merayu anak-anaknya agar ikut pergi ke langgar.
Karena urusan orang macam-macam, kedatangan warga ke mushola tidak bersamaan. Demikian pula imamnya. Demi menunggu banyaknya jamaah, dilafalkanlah syair tersebut. Semua yang telah hadir langsung mengikuti bacaannya. Rampak dalam satu nada.
Tak ada yang ngobrol sendiri, mengantuk, apalagi gojegan. Semua tertib dalam irama, terkondisikan batinnya untuk sholat bersama. Khusyuk benar suasananya. Sehingga ketika menjalankan sholat qobliyah (sholat sunah sebelum sholat fardhu), serasa tak ada lagi pikiran tentang dunia. Terasa berada dalam majlis pertemuan dengan Allah semata.
Dari syair itu pula, warga mendapat pelajaran penuh hikmah. Tidak semua orang punya waktu membaca buku atau masuk madrasah. Tidak setiap waktu orang bisa mendengarkan ceramah. Lewat pujipujian semacam itulah, seluk-beluk tentang Nabi teladannya disampaikan.
Ibu-ibu yang sibuk masak atau sedang ngemiki bayinya, yang tak bisa pergi ke mushola, ikut menikmati dan mendengarkan puji-pujian itu. Praktis isi kepala orang sekampung terisi tentang pelajaran agama. Tentang Allah dan Rasulnya. Tentang Islam dan ajarannya. Sejak masih tidur sampai malam hari. Karena dilantunkan minimal lima kali sehari.
Sungguh, sewaktu belum bersekolah, di usia balita, saya sudah hapal semua syair puji-pujian. Sebelum guru agama SD saya memberitahu siapa keluarga Nabi Muhammad, cerita tentang pasukan gajah Raja Abrohah, dan masa kecil Rasulullah sudah terpatri dalam memori saya. Bukan sebagai pengetahuan di otak kiri, tetapi mengendap di alam bawah sadar hingga kini.
Subhanallah. Betapa kreatifnya ulama zaman dulu. Betapa bijaksananya mereka. Masjid maupun langgar benar-benar jadi pusat dakwah Islam. Dengan gubahan puisi berbahasa Jawa, dakwah disampaikan begitu indahnya. Mudah dicerna dalam keadaan apa saja. Subhanallah. Saking kuatnya energi puji-pujian menyentuh kalbu, banyak penganut agama nenek moyang berganti memeluk Islam. Orang yang malas tersentuh hatinya, lalu rajin sembahyang. Pemuda yang senang bergerombol, malu dilihat orang lain yang pergi ke masjid. Lalu ikut masuk dan bergabung dalam pujipujian. Anak-anak kecil apalagi, punya ”mainan” selain nuthuk bedug dan kenthongan. Yaitu bengak-bengok keras-kerasan mengikuti bacaan Mbah Hamdan.
Dari sejarahnya, puji-pujian tidaklah besutan para wali tanah Jawa. Sebab para sahabat Nabi telah memberi contoh dan mengajarkannya. Dari Sa’id bin Musayyab dikatakan, seorang sahabat Nabi bernama Hassan bin Tsabit gemar bersyair di dalam masjid. Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW memperbolehkannya. Rasul bahkan mendoakannya, “Ya Allah, tolonglah Hasan bin Tsabit dengan Ruhul Quddus (malaikat Jibril as)” (HR Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Dari sunah taqririyah inilah umat Islam di belahan dunia lain meneruskannya. Tentu disesuaikan dengan bahasa setempat. Agar ayat maupun hadis yang berbahasa Arab bisa dimengerti umat.
Lalu kenapa ya, di zaman modern ini ada orang yang begitu galaknya menyalah-nyalahkan puji-pujian. Penuh hujatan dan umpatan kebencian. Menuding amalan dakwah itu sebagai bid’ah
dholalah (kesesatan), bahkan syirik (menyekutukan Tuhan) yang tak terampunkan.
Pernah saya saksikan, ada orang membaca puji-pujian diusir dan mikrofon yang dipegangnya direbut. Dia dilarang berjamaah di masjid tersebut. Kebetulan dia bukan penduduk kampung di mana masjid tersebut berada. Anehnya, saya yang asyik ngobrol, juga teman saya yang main SMS-an malah dibiarkan. Astaghfirullah. Naudzubillahi min dzalik.
Ya sudah kalau begitu. Jangan kritik masjid jika kurang maksimal fungsi dakwahnya. Jangan salahkan takmir jika masjid hanya jadi semacam tempat pemujaan. Kering dari syiar Islam.
Jangan kaget pula jika umat Islam kurang bagus moralnya. Karena tidak pernah diajari kelembutan dan kemuliaan akhlak seperti Nabinya. Jangan heran pula jika ada yang menjadi teroris. Karena kulakannya agama penuh kebengisan seperti itu.
Selamat berpuasa. Selamat menahan nafsu amarah, agar Islam menjadi agama yang ramah.***
ELING jaman cilik min
ReplyDeleteELING jaman cilik min
ReplyDelete