’Sak Karepe Dhewe’, 3 Istri Minta Cerai
Entah mengapa, kisah rumah tangga penyair atau sastrawan itu identik dengan romantika kesedihan. Mungkin karena punya ”adat berbeda” dengan kebanyakan orang, seniman sering mengalami penolakan oleh lingkungan. Termasuk istrinya atau keluarga istrinya.
DWIPANGA (nama samaran), adalah salah satu sastrawan yang tak bisa ”diterima” oleh orang normal. Sarjana sastra yang dulu jadi dedengkot teater mahasiswa ini mengalami tiga kali gagal berkeluarga. Perkawinannya selalu berakhir di pengadilan agama, cerai.
Tiga istri Dwipangga, punya alasan sama dalam gugatan cerai mereka. Yaitu dibuat resah tanpa kejelasan nafkah. Tak lain karena Dwipangga tetap sak karepe dhewe seperti semasa bujang dulu.
Dengan istri pertama, meski telah punya seorang anak berumur 3, Dwipangga masih suka bergerombol di kampus tempatnya dulu kuliah bercengkerama dengan yunior-yuniornya, maupun teman seangkatan yang suka kongkow.
Yang membuat sebal istrinya, hal itu dilakukan Dwipangga saat jam kerja, dan dia tidak membawa uang saat pulang ke rumah. Walhasil, nongkrongnya hanya untuk menghabiskan waktu semata. Ia memang tak punya pekerjaan jelas.
Awal menikah delapan tahun lalu, Dwipangga sempat membuka jasa laundry. Tetapi tutup di bulan keempat karena pelanggan lari akibat sering tidak tepat waktu menggarap order.
Sering pula Dwipangga pergi tanpa pamit hingga berhar-hari. Saat dikontak, mengaku sedang menemani kawannya mengelar panggung konser di luar kota. Duit memang dibawa pulang, tapi istri sudah jengah duluan.
Anaknya, bernasib sama dengan sang istri. Jarang disapa dan jarang dibelai. Rumah tangganya jadi gersang.
Kering dari komunikasi dan kasih sayang. Para tetangga juga sering menggunjing, Dwipangga tidak bermasyarakat. Karena hampir tak pernah ikut kegiatan RT maupun RW. Padahal berstatus pengontrak rumah.
Belum lagi soal rambut gondrongnya, awut-awutan busananya, penampilan kumuhnya, membuat suasana serba menyebalkan bagi orang di sekitarnya.
Tak kuat menahan beban batin, istrinya didukung keluarga menggugat cerai penulis puisi yang sesekali dimuat di koran itu. Dia mencoba berkelit saat disidangkan.
”Aku masih normal sebagai suami. Moralku masih baik. Tak pernah selingkuh, berjudi atau mabuk. Soal rezeki belum mapan perlu proses,” tuturnya seperti dikutip sang istri, sebut saja Maimunah. Maimunah bersisukuh minta diceraikan.
Lepas dari Maimunah, Dwipangga mencoba mendekati perempuan lain. Tak kuat menduda, dia menikahi seorang janda tanpa anak enam bulan kemudian. Namun si janda, sebut saja Mona, juga menggugat cerai karena tak kuat kelakuan Dwipangga yang membuat tidak tenang hatinya.
”Istirahat” dua tahun, Dwipangga mendapat lagi istri yang dikiranya bisa memahami posisinya sebagai sastrawan. Namun lagi-lagi, gadis desa yang diperistrinya, menyetujui saran ayah ibunya untuk bercerai dari Dwipangga.
Di akhir sidang putusan cerai mereka belum lama ini, istrinya berpesan agar ia jangan kawin lagi jika tak mau mengubah cara hidupnya yang slengekan. (ichwan)
DWIPANGA (nama samaran), adalah salah satu sastrawan yang tak bisa ”diterima” oleh orang normal. Sarjana sastra yang dulu jadi dedengkot teater mahasiswa ini mengalami tiga kali gagal berkeluarga. Perkawinannya selalu berakhir di pengadilan agama, cerai.
Tiga istri Dwipangga, punya alasan sama dalam gugatan cerai mereka. Yaitu dibuat resah tanpa kejelasan nafkah. Tak lain karena Dwipangga tetap sak karepe dhewe seperti semasa bujang dulu.
Dengan istri pertama, meski telah punya seorang anak berumur 3, Dwipangga masih suka bergerombol di kampus tempatnya dulu kuliah bercengkerama dengan yunior-yuniornya, maupun teman seangkatan yang suka kongkow.
Yang membuat sebal istrinya, hal itu dilakukan Dwipangga saat jam kerja, dan dia tidak membawa uang saat pulang ke rumah. Walhasil, nongkrongnya hanya untuk menghabiskan waktu semata. Ia memang tak punya pekerjaan jelas.
Awal menikah delapan tahun lalu, Dwipangga sempat membuka jasa laundry. Tetapi tutup di bulan keempat karena pelanggan lari akibat sering tidak tepat waktu menggarap order.
Sering pula Dwipangga pergi tanpa pamit hingga berhar-hari. Saat dikontak, mengaku sedang menemani kawannya mengelar panggung konser di luar kota. Duit memang dibawa pulang, tapi istri sudah jengah duluan.
Anaknya, bernasib sama dengan sang istri. Jarang disapa dan jarang dibelai. Rumah tangganya jadi gersang.
Kering dari komunikasi dan kasih sayang. Para tetangga juga sering menggunjing, Dwipangga tidak bermasyarakat. Karena hampir tak pernah ikut kegiatan RT maupun RW. Padahal berstatus pengontrak rumah.
Belum lagi soal rambut gondrongnya, awut-awutan busananya, penampilan kumuhnya, membuat suasana serba menyebalkan bagi orang di sekitarnya.
Tak kuat menahan beban batin, istrinya didukung keluarga menggugat cerai penulis puisi yang sesekali dimuat di koran itu. Dia mencoba berkelit saat disidangkan.
”Aku masih normal sebagai suami. Moralku masih baik. Tak pernah selingkuh, berjudi atau mabuk. Soal rezeki belum mapan perlu proses,” tuturnya seperti dikutip sang istri, sebut saja Maimunah. Maimunah bersisukuh minta diceraikan.
Lepas dari Maimunah, Dwipangga mencoba mendekati perempuan lain. Tak kuat menduda, dia menikahi seorang janda tanpa anak enam bulan kemudian. Namun si janda, sebut saja Mona, juga menggugat cerai karena tak kuat kelakuan Dwipangga yang membuat tidak tenang hatinya.
”Istirahat” dua tahun, Dwipangga mendapat lagi istri yang dikiranya bisa memahami posisinya sebagai sastrawan. Namun lagi-lagi, gadis desa yang diperistrinya, menyetujui saran ayah ibunya untuk bercerai dari Dwipangga.
Di akhir sidang putusan cerai mereka belum lama ini, istrinya berpesan agar ia jangan kawin lagi jika tak mau mengubah cara hidupnya yang slengekan. (ichwan)
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.