Sajadah Merah
Sajadah Merah - Arif Firhanusa |
KUSERET langkah mengekornya. Lalu kami berhenti di kamar ujung. Ia mempersilakanku masuk.
“Minum apa, Mas?” Tanya dia tanpa mengumbar kegenitan.
Ia memang lembut sejak bertegur sapa di beranda.
Senyumnya mengapung seperti lentera di keremangan.
“Teh saja. Hangat lebih baik.”
“O ya, saya Sumarti. Mas siapa namanya?”
Sumarti? Bukankah pelacur biasanya Santi, Mirna, Susi, Mirsa, Elly?
“Saya Firman.”
Ia mengulum senyum. Senyum yang indah. Gigi putihnya tersusun rapi. Sumarti kurang lebih 35 tahun. Kulitnya langsat.
Tingginya tak seberapa, namun ia tampak cantik dengan ukurannya sendiri.
Aku telentang. Kamar yang sangat perempuan. Ada boneka panda di sudut ranjang. Tembok dengan gelantungan fotonya 10 R berbagai pose.
Pintu terkuak. Ia muncul dengan segelas teh. Menyapaku dengan senyuman, seperti tadi sudah berulang ia berikan. Menaruh gelas di dekat asbak. Kemudian duduk di bibir ranjang, berderit mengingatkan aku ke masa kusam beberapa waktu silam …
***
SEBUAH rumah besar. Memasuki halaman, tampaklah barisan pepohonan layu. Rumput-rumput meranggas, liar hingga beranda.
Ruang tamu dan kamar sungguh berjelaga. Kertas-kertas berserakan. Bekas odol, bungkus sabun, pakaian kotor, bergumul bau anyir kamar mandi. Rumah yang gersang, berkelambu sawang. Tanpa nyawa.
“Kita robohkan saja!” Pekikku gusar, dua bulan sebelum meninggalkannya. “Jangan ngomong sembarangan!” Sambar Paramita. Suaranya serak oleh rokok dan alkohol.
“Jual saja. Terserah mau laku berapa.”
“Kau kira ini rumah moyangmu?”
“Aku muak!”
“Enyah saja dari sini! Bawa semua barangmu!”
“Akan kulakukan tanpa kau paksa.”
“Tunggu apa? Semakin cepat semakin baik!”
Aku melesak keluar, melompat dari percik neraka, melesat menuju utara. Mengontrak rumah kecil. Memunguti kepingan-kepingan hidup. Memulai segalanya kembali dari awal.
Tapi sesekali aku memasuki rumah itu secara diam-diam. Di ruang depan puluhan kecoa serempak menyingkir, berlombalomba lari menuju kolong. Lima belas menit, setengah jam, bahkan kadang lebih dari satu jam aku duduk termenung.
“Sedang memikirkan sesuatu, Mas?”
Tanya Sumarti tiba-tiba.
Aku terkejut. “Memikirkan rumah,” jawabku sekenanya.
“Ada yang sakit?”
“Rumah dalam arti sesungguhnya.”
Sumarti menaksir-naksir. “Mengapa dengan rumah Mas?”
“Mau roboh.”
“Rayap, ya? Sudah direhab?”
“Pemiliknyalah yang mesti direhab.”
“Saya tak mengerti.”
“Lebih baik begitu.”
“Maaf.”
Perempuan jalang itu dua tahun kukuntit, lalu menangkupnya dengan hati-hati karena ia kupu-kupu yang berloncatan dari satu pria ke pria lain.
Kami hidup bersama tanpa nikah. Kepada neneknya Paramita merengek supaya rumah besar itu boleh kami tempati. Entah mengapa, keinginannya itu dikabulkan nenek tua kaya raya itu, yang enam bulan kemudian meninggal.
“Niken mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Aku akan semalaman di sana,” kata Paramita suatu petang. Kemudian ngeloyor tanpa memberiku kesempatan bertanya.
Rupanya itu malam jahanam. Aku menguntitnya. Dari balik jendela, aku memergoki sebuah pesta setan. Puluhan lelaki-perempuan berkelejotan di sela musim yang berdentum kencang, mirip ribuan belatung di sekeliling bangkai.
Paginya, kami bertengkar hebat.
“Tak perlu sewot atas apa yang
kulakukan!” Geramnya dengan bau alkohol yang menyengat.
“Baru kusadari, selama ini setan yang kusetubuhi.”
“Sok suci. Tengoklah masa lalumu.
Bukankah kau kutemukan ketika sedang merencanakan bunuh diri? Lupakah kau seperti apa pembelaanku di depan orangtuaku ketika mereka memandangmu seperti sampah?”
“Kita punya komitmen.”
“Ah, omong kosong dengan komitmen.
Kau masih juga diam-diam meniduri pacarpacarmu!”
“Jangan sembarangan menuduh!”
“Tai!”
“… ada masalah dengan istri?” Sumarti kembali mengagetkan, dengan geletar suara yang menenteramkam.
“Perempuan yang kau maksud itu bukan istri saya. Kami kumpul kebo.”
“Mau membahasnya?”
Aku menggeleng.
“Baiklah kalau begitu. Mas ingin saya melakukan sesuatu? Mau dipijat?”
Sekali lagi Sumarti memberiku suasana yang temaram. Tiga tahun hidup bersama, belum pernah Paramita memijatku.
“Kau tak seperti yang lain,” ujarku lirih.
“Maksud Mas?”
“Tak pernah ada yang memperhatikan saya sedemikian rupa sehingga saya menganggap mereka bukan semata penjual jasa.”
“Saya tetaplah penjual jasa, Mas.”
“Tapi beda.”
“Bedanya saya telaten, sementara mereka cuma memikirkan uang.”
“Saya bahkan tengah berpikir soal uang.
Bagaimana kalau saya ke sini tak membawa duit?”
“Saya akan memahaminya karena saya tak menuhankan uang.”
“Dan kau rela menombok pada mucikari?”
“Saya tak keberatan.”
Aku membalikkan badan, sampai-sampai Sumarti menarik kepalanya karena kaget.
“Mengapa kau begitu baik?”
Sumarti menarik napas. “Asal tahu saja, saya juga penuh penderitaan sebelum memutuskan ke sini.”
Ia menerawang sejenak. “Suami saya binatang.” Bibirnya bergetar. “Ia menggauli anak sulung kami yang baru lulus SD, mencabuli adik kandung saya yang SMP.
Tak puas, ia juga memperkosa ibu saya … “
Kalimatnya menggantung. Genangan airmata menetes deras di pipinya.
Aku bergidik ngeri.
“… Anak kami hamil. Bayi adik saya juga telah lahir. Ibu pilih minum sianida karena tak kuasa menanggung malu … ..”
“Suamimu?”
“Di penjara. Tapi hukuman tak mengembalikan kehormatan kami, tak juga nyawa Ibu.”
“Mengapa harus ke sini kau bawa penderitaanmu?” Tanyaku penasaran.
Ia tersenyum masam. “Saya sedang mencari jawaban atas banyak pertanyaan.”
“Sudah kau temukan?”
Ia menggeleng.
“Sebaliknya, mengapa Mas juga memilih ke sini?”
“Ia menodai kebersamaan kami.”
“Dimana dia saat ini?”
“Di sebuah tempat perawatan yang saya juga tak peduli di mana.”
“Sakit apa?”
“AIDS.”
Sumarti tercengang.
“Kau takut virus itu saya bawa ke sini?”
Ia menggeleng. “Ada yang lebih saya takutkan dari AIDS. Saya takut karena Tuhan sebetulnya teramat dekat. Pasangan Mas telah mendapat ganjarannya.”
“Ganjaran yang menurut saya belum seberapa. Pernah saya ingin membunuhnya.”
“Membuatnya mati tak mengembalikan apa-apa.”
“Setidaknya saya puas.”
“Kita semua berjelaga. Pelacur, penjahat, pembunuh, koruptor. Semuanya berlumur dosa. Dengan membunuh, Mas justru lebih nista.”
“Kalau melacur berjelaga, mengapa tetap kau lakukan?”
“Saya tengah mencari sesuatu. Mungkin sebuah lorong terang yang mengantar saya ke kematian tenang.”
“Baru akan berhenti kalau sudah mati?”
“Kematian tak bisa direncanakan. Siapa tahu ketika saya melayani Mas mendadak datang malaikat pencabut nyawa.”
“Kau siap mati kapanpun jika Tuhan menghendaki?”
“Kapanpun.”
“Apa yang membuatmu merasa siap?”
“Saya tak pernah lekang mendekatkan diri pada-Nya, biarpun Lumpur dosa melumuri.” Tiba-tiba ia berdiri dan membersit keluar.
Tak beberapa lama, ia kembali dengan muka basah. Baru kusadari ia telah berwudlu tatkala ia menarik sajadah merah dari dalam lemari.
“Saya sholat asyar dulu, Mas. Oh iya, diminum tehnya.” Ia memakai rukuh dan mukena, menggelar sajadah di lantai, lalu mulai sholat.
Plamongan Indah, 7 April 2011
Labels
cerpen
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.