10 Tahun Makan Nasi Aking
Nestapa masih bersemayam di masyarakat kita. Kondisi perekonomian yang parah mendorong orang makan apa saja untuk menyambung nyawa, seperti dialami pasutri Giwan (76) dan Jumini (70), warga Desa Dempet, Demak. Di hari tuanya mereka terpaksa makan nasi aking sisa orang lain.
Selama 30 tahun pasutri ini tinggal di gubuk reot di pingir perkampungan. Sehari-hari Giwan bekerja menyiangi rumput di ladang. Namun upah Rp 10.000 per hari tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Tak jarang mereka pun harus terpaksa puasa.
Menurut Jumini, tak ada lagi yang mengurusi mereka, sedangkan anaknya sudah tak pernah lagi pulang sejak pergi 30 tahun silam. "Anak kami, Sopian dan Masluri merantau ke Sumatera. Tapi sudah 30 tahun ini tak ada kabar-beritanya," tutur Jumini, sedih.
"Bagi kami, nasi Aking adalah anugerah istimewa dari Allah, tak jarang kami berpuasa saat tidak punya uang," kata Giwan, Minggu (23/10). Karena penghasilannya tak seberapa mereka lebih memilih makan nasi aking dari sisa orang lain, selama 10 tahun ini, ketimbang kelaparan.
Harga nasi kering cukup murah, hanya Rp 1.500 per kg. Dan nasi itu hanya disantap bersama lauk tempe atau kerupuk. Keluarga ini juga terbiasa minum air dari sungai tak jauh dari gubuknya, padahal air sungai ini sudah bercampur limbah. (swi/rif)
Selama 30 tahun pasutri ini tinggal di gubuk reot di pingir perkampungan. Sehari-hari Giwan bekerja menyiangi rumput di ladang. Namun upah Rp 10.000 per hari tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Tak jarang mereka pun harus terpaksa puasa.
Menurut Jumini, tak ada lagi yang mengurusi mereka, sedangkan anaknya sudah tak pernah lagi pulang sejak pergi 30 tahun silam. "Anak kami, Sopian dan Masluri merantau ke Sumatera. Tapi sudah 30 tahun ini tak ada kabar-beritanya," tutur Jumini, sedih.
"Bagi kami, nasi Aking adalah anugerah istimewa dari Allah, tak jarang kami berpuasa saat tidak punya uang," kata Giwan, Minggu (23/10). Karena penghasilannya tak seberapa mereka lebih memilih makan nasi aking dari sisa orang lain, selama 10 tahun ini, ketimbang kelaparan.
Harga nasi kering cukup murah, hanya Rp 1.500 per kg. Dan nasi itu hanya disantap bersama lauk tempe atau kerupuk. Keluarga ini juga terbiasa minum air dari sungai tak jauh dari gubuknya, padahal air sungai ini sudah bercampur limbah. (swi/rif)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.