Kadar Cinta Istri Sejati
Semua berawal dari sebuah rumah mewah di pinggiran desa. Di sana hiduplah sepasang suami istri, sebut saja Wira dan Rumi.
Wira adalah anak tunggal orang terpandang di desa itu, sedangkan Rumi anak orang biasa. Tapi kedua orang tua Wira sangat menyayangi menantu satu-satunya itu. Rumi rajin, patuh, dan taat beribadah, selain juga sudah tak punya saudara dan orang tua lagi. Mereka menjadi korban gempa beberapa tahun lalu.
Sekilas, mereka adalah pasangan yang harmonis. Para tetangga pun tahu bagaimana mereka dulu merintis usaha dari kecil untuk mencapai kehidupan mapan seperti sekarang ini. Sayangnya, pasangan itu belum diberi anak dalam sepuluh tahun usia pernikahan.
Wira putus asa hingga dan berniat menceraikan sang istri, yang dianggap tak mampu memberikan keturunan. Setelah melalui perdebatan sengit, dengan sangat sedih, akhirnya Rumi pun menyerah pada keputusan suaminya untuk bercerai.
Namun orang tua Wira menentang keras. Tapi tampaknya keputusan Wira sudah bulat. Dia tetap akan menceraikan Rumi. Setelah berdebat alot, akhirnya dengan berat hati kedua orang tua itu menyetujui perceraian tersebut dengan satu syarat, yaitu perceraian itu juga diselenggarakan dalam sebuah pesta yang sama besar seperti besarnya pesta saat mereka menikah dulu. Karena tak ingin mengecewakan, maka persyaratan itu pun disetujui.
Beberapa hari kemudian pesta diselenggarakan. Sebuah pesta yang sangat tidak membahagiakan bagi siapapun yang hadir. Wira tampak tertekan, sementara Rumi terus melamun dan sesekali mengusap airmata.
Di sela stres, tiba-tiba Wira berdiri dan berkata lantang, "Istriku, saat kamu pergi nanti, ambil saja dan bawalah serta semua barang berharga atau apapun yang kamu suka!" Setelah itu, Wira pun roboh pingsan karena tekanan hebat yang menimpanya.
Keesokan harinya, Wira terbangun dengan kepala yg masih berdenyut. Dia merasa asing dengan keadaan di sekelilingnya. Tak banyak yang dikenalinya kecuali satu, Rumi istrinya, yang masih sangat ia cintai, sosok yg selama bertahun-tahun ini menemani hidupnya.
Maka, dia pun lalu bertanya, "Ada dimanakah aku? Sepertinya ini bukan kamar kita? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi? Tolong jelaskan..."
Rumi pun lalu menatap suaminya penuh cinta, dan dengan mata berkaca dia menjawab, "Suamiku, ini di rumah peninggalan orang tuaku. Kemarin kamu bilang di depan semua orang bahwa aku boleh membawa apa saja yang aku mau dan aku sayangi. Dan perlu kamu tahu, di dunia ini tidak ada satu barangpun yang berharga dan aku cintai dengan sepenuh hati kecuali kamu. Karena itulah kamu sekarang kubawa serta kemanapun aku pergi."
Terperanjat sesaat, Wira pun lalu bangun dan kemudian memeluk istrinya erat-erat dan lama. Rumi pun hanya bisa pasrah tanpa mampu membalas pelukannya. Ia biarkan kedua tangannya tetap lemas, lurus sejajar dengan tubuh kurusnya.
"Maafkan aku, sayang. Aku sungguh bodoh dan tidak menyadari ternyata sebegitu dalamnya cintamu padaku. Meski aku telah menyakitimu dan berniat menceraikan, kamu masih tetap mau membawa serta diriku bersamamu dalam keadaan apapun ..."
Kedua suami istri itu pun terus berpelukan dan saling bertangisan dalam relung kebahagaiaan. Mereka akhirnya mengikat janji (lagi) berdua untuk tetap saling mencintai hingga ajal memisahkan. (Abdul Mughis)
Wira adalah anak tunggal orang terpandang di desa itu, sedangkan Rumi anak orang biasa. Tapi kedua orang tua Wira sangat menyayangi menantu satu-satunya itu. Rumi rajin, patuh, dan taat beribadah, selain juga sudah tak punya saudara dan orang tua lagi. Mereka menjadi korban gempa beberapa tahun lalu.
Sekilas, mereka adalah pasangan yang harmonis. Para tetangga pun tahu bagaimana mereka dulu merintis usaha dari kecil untuk mencapai kehidupan mapan seperti sekarang ini. Sayangnya, pasangan itu belum diberi anak dalam sepuluh tahun usia pernikahan.
Wira putus asa hingga dan berniat menceraikan sang istri, yang dianggap tak mampu memberikan keturunan. Setelah melalui perdebatan sengit, dengan sangat sedih, akhirnya Rumi pun menyerah pada keputusan suaminya untuk bercerai.
Namun orang tua Wira menentang keras. Tapi tampaknya keputusan Wira sudah bulat. Dia tetap akan menceraikan Rumi. Setelah berdebat alot, akhirnya dengan berat hati kedua orang tua itu menyetujui perceraian tersebut dengan satu syarat, yaitu perceraian itu juga diselenggarakan dalam sebuah pesta yang sama besar seperti besarnya pesta saat mereka menikah dulu. Karena tak ingin mengecewakan, maka persyaratan itu pun disetujui.
Beberapa hari kemudian pesta diselenggarakan. Sebuah pesta yang sangat tidak membahagiakan bagi siapapun yang hadir. Wira tampak tertekan, sementara Rumi terus melamun dan sesekali mengusap airmata.
Di sela stres, tiba-tiba Wira berdiri dan berkata lantang, "Istriku, saat kamu pergi nanti, ambil saja dan bawalah serta semua barang berharga atau apapun yang kamu suka!" Setelah itu, Wira pun roboh pingsan karena tekanan hebat yang menimpanya.
Keesokan harinya, Wira terbangun dengan kepala yg masih berdenyut. Dia merasa asing dengan keadaan di sekelilingnya. Tak banyak yang dikenalinya kecuali satu, Rumi istrinya, yang masih sangat ia cintai, sosok yg selama bertahun-tahun ini menemani hidupnya.
Maka, dia pun lalu bertanya, "Ada dimanakah aku? Sepertinya ini bukan kamar kita? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi? Tolong jelaskan..."
Rumi pun lalu menatap suaminya penuh cinta, dan dengan mata berkaca dia menjawab, "Suamiku, ini di rumah peninggalan orang tuaku. Kemarin kamu bilang di depan semua orang bahwa aku boleh membawa apa saja yang aku mau dan aku sayangi. Dan perlu kamu tahu, di dunia ini tidak ada satu barangpun yang berharga dan aku cintai dengan sepenuh hati kecuali kamu. Karena itulah kamu sekarang kubawa serta kemanapun aku pergi."
Terperanjat sesaat, Wira pun lalu bangun dan kemudian memeluk istrinya erat-erat dan lama. Rumi pun hanya bisa pasrah tanpa mampu membalas pelukannya. Ia biarkan kedua tangannya tetap lemas, lurus sejajar dengan tubuh kurusnya.
"Maafkan aku, sayang. Aku sungguh bodoh dan tidak menyadari ternyata sebegitu dalamnya cintamu padaku. Meski aku telah menyakitimu dan berniat menceraikan, kamu masih tetap mau membawa serta diriku bersamamu dalam keadaan apapun ..."
Kedua suami istri itu pun terus berpelukan dan saling bertangisan dalam relung kebahagaiaan. Mereka akhirnya mengikat janji (lagi) berdua untuk tetap saling mencintai hingga ajal memisahkan. (Abdul Mughis)
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.