Langgar Deprok
Enggan Bermegah-megahan
JANGAN merasa trenyuh melihat kondisi bangunan Langgar Deprok di Kelurahan Banjardowo, Kecamatan Genuk. Sepintas, surau kecil yang hanya berjarak sepelontaran batu dari pertigaan Jalan Kaligawe Genuk, itu terlihat memprihatinkan.
Letaknya nyungsep, tenggelam oleh hunian dan jalan di sekitarnya yang setiap tahun ‘’berlomba” untuk lebih tinggi demi menghindari banjir.
Dindingnya bukan tembok permanen namun hanya berupa kayu lokal. Bagian atap berupa susunan genteng mirip rumah biasa. Tak ada menara menjulang, apalagi kubah membulat lazimnya sebuah masjid.
Amboi, betapa mungil surau renta berusia ratusan tahun ini. Seakan tak mampu menjaga amanat syiar keagungan Tuhan Yang Maha Kaya.
Andai malaikat menilai darma tempat ibadah hanya dari kemegahan bangunan, boleh jadi surau yang memiliki nama asli Mushola Nurul Mujahiddin ini diberi giliran paling buncit saat hisab di Padang Mahsyar kelak.
Tapi jangan salah terka, ndeproknya Langgar Deprok bukan karena dilalaikan umat seperti dikisahkan AA Navis dalam novel Robohnya Surau Kami. Surau kecil ini telah melahirkan mujahid-mujahid pemberani penerus ajaran kesahajaan ala Nabi Besar Muhammad SAW. “Menurut cerita para tetua kampung, zaman dahulu surau ini digunakan ulama untuk memompa semangat pejuang sebelum berangkat perang melawan penjajah,” ujar Wakil Ketua Takmir, Hasan Rivai.
Tak diketahui berapa usia langgar kecil ini. “Kami tidak tahu kapan pertama kali dibangun. Tapi
menurut cerita, usia mushola ini sudah sangat tua,” imbuh Hasan.
Pemerintah telah menetapkan mushola sebagai warisan sejarah yang harus dijaga kelestariannya. “Pemkot menetapkan mushola ini sebagai bangunan cagar budaya. Tidak boleh direnovasi apalagi dibuat bangunan baru. Perbaikan kecil-kecilan boleh, asal tidak mengubah bentuk aslinya,” ujar Hasan Rivai.
Meski merupakan cagar budaya, hingga kini tak pernah ada bantuan biaya perawatan. Biaya operasional dan perawatan diambil dari infak jamaah.
Perihal muasal penisbatan ndeprok, anggota takmir Umar Khafid menuturkan, zaman dahulu mushola ini berbentuk panggung mirip rumah adat Sumatera. Tingginya sekitar satu meter di atas tanah. Seiring waktu tiang penyangga lapuk dimakan usia. Akhirnya tahun 1901, penyangganya patah sehingga mushola jatuh ke tanah.”Tidak ambruk, hanya ndeprok di atas tanah sehingga tetap bisa digunakan untuk beribadah.”
Mungkin karena tak ada biaya, masyarakat tak kunjung memperbaiki. Dibiarkan ndeprok begitu saja di atas tanah. “Lama kelamaan terkenal dengan sebutan Langgar Deprok,” lanjut menantu tokoh agama di Kelurahan Bangetayu Wetan ini.
Pada bulan Ramadan Langgar Deprok semakin meriah untuk kegiatan keagamaan. Jamaah nyaman beribadah karena lantainya berupa keramik. Dahulu aslinya hamparan tanah yang di-lambari lembaran gedhek (anyaman bambu).
Mushola ini berukuran sekitar 10 x 8 meter. Bisa menampung seratusan orang lebih untuk berjamaah. Di bagian belakang terdapat bangunan tambahan berupa beranda dan padusan (tempat wudlu). Mushola ini digunakan oleh warga RT 02 RW 02 Kelurahan Banjardowo.
Doktor Filsafat Arsitektur, Dr A Rudyanto menilai, Langgar Deprok merupakan fenomena unik. Dianggap tidak mengikuti pakem filsafat arsitektur sebuah rumah ibadah. “Di agama manapun, tempat ibadah pasti dibuat besar dan megah. Atapnya menjulang tinggi dengan pilar-pilar raksasa. Tujuannya untuk menggambarkan kebesaran Tuhan sekaligus agar orang yang beribadah di dalamnya merasa kecil di hadapan Tuhan,” ujar Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata itu.
Dia mencontohkan, pembangunan gereja-gereja di Roma seringkali melibatkan arsitek dan seniman besar sekelas Leonardo da Vinci, Michelengo, atau Bernini.
Di Indonesia, candi-candi didirikan di atas bukit. Pagoda dan Wihara dibangun hingga tingkat sembilan. Masjid-masjid dihiasai kubah raksasa dengan menara setinggi ratusan meter.
Langgar Deprok seakan melawan filsafat bermegah-megahan itu. Saat masjid lain berlomba kemegahan, dia memilih menjadi surau kecil tetapi makmur oleh aktivitas ibadah umatnya. (panji_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
JANGAN merasa trenyuh melihat kondisi bangunan Langgar Deprok di Kelurahan Banjardowo, Kecamatan Genuk. Sepintas, surau kecil yang hanya berjarak sepelontaran batu dari pertigaan Jalan Kaligawe Genuk, itu terlihat memprihatinkan.
Letaknya nyungsep, tenggelam oleh hunian dan jalan di sekitarnya yang setiap tahun ‘’berlomba” untuk lebih tinggi demi menghindari banjir.
Dindingnya bukan tembok permanen namun hanya berupa kayu lokal. Bagian atap berupa susunan genteng mirip rumah biasa. Tak ada menara menjulang, apalagi kubah membulat lazimnya sebuah masjid.
Amboi, betapa mungil surau renta berusia ratusan tahun ini. Seakan tak mampu menjaga amanat syiar keagungan Tuhan Yang Maha Kaya.
Andai malaikat menilai darma tempat ibadah hanya dari kemegahan bangunan, boleh jadi surau yang memiliki nama asli Mushola Nurul Mujahiddin ini diberi giliran paling buncit saat hisab di Padang Mahsyar kelak.
Tapi jangan salah terka, ndeproknya Langgar Deprok bukan karena dilalaikan umat seperti dikisahkan AA Navis dalam novel Robohnya Surau Kami. Surau kecil ini telah melahirkan mujahid-mujahid pemberani penerus ajaran kesahajaan ala Nabi Besar Muhammad SAW. “Menurut cerita para tetua kampung, zaman dahulu surau ini digunakan ulama untuk memompa semangat pejuang sebelum berangkat perang melawan penjajah,” ujar Wakil Ketua Takmir, Hasan Rivai.
Tak diketahui berapa usia langgar kecil ini. “Kami tidak tahu kapan pertama kali dibangun. Tapi
menurut cerita, usia mushola ini sudah sangat tua,” imbuh Hasan.
Pemerintah telah menetapkan mushola sebagai warisan sejarah yang harus dijaga kelestariannya. “Pemkot menetapkan mushola ini sebagai bangunan cagar budaya. Tidak boleh direnovasi apalagi dibuat bangunan baru. Perbaikan kecil-kecilan boleh, asal tidak mengubah bentuk aslinya,” ujar Hasan Rivai.
Meski merupakan cagar budaya, hingga kini tak pernah ada bantuan biaya perawatan. Biaya operasional dan perawatan diambil dari infak jamaah.
Perihal muasal penisbatan ndeprok, anggota takmir Umar Khafid menuturkan, zaman dahulu mushola ini berbentuk panggung mirip rumah adat Sumatera. Tingginya sekitar satu meter di atas tanah. Seiring waktu tiang penyangga lapuk dimakan usia. Akhirnya tahun 1901, penyangganya patah sehingga mushola jatuh ke tanah.”Tidak ambruk, hanya ndeprok di atas tanah sehingga tetap bisa digunakan untuk beribadah.”
Mungkin karena tak ada biaya, masyarakat tak kunjung memperbaiki. Dibiarkan ndeprok begitu saja di atas tanah. “Lama kelamaan terkenal dengan sebutan Langgar Deprok,” lanjut menantu tokoh agama di Kelurahan Bangetayu Wetan ini.
Pada bulan Ramadan Langgar Deprok semakin meriah untuk kegiatan keagamaan. Jamaah nyaman beribadah karena lantainya berupa keramik. Dahulu aslinya hamparan tanah yang di-lambari lembaran gedhek (anyaman bambu).
Mushola ini berukuran sekitar 10 x 8 meter. Bisa menampung seratusan orang lebih untuk berjamaah. Di bagian belakang terdapat bangunan tambahan berupa beranda dan padusan (tempat wudlu). Mushola ini digunakan oleh warga RT 02 RW 02 Kelurahan Banjardowo.
Doktor Filsafat Arsitektur, Dr A Rudyanto menilai, Langgar Deprok merupakan fenomena unik. Dianggap tidak mengikuti pakem filsafat arsitektur sebuah rumah ibadah. “Di agama manapun, tempat ibadah pasti dibuat besar dan megah. Atapnya menjulang tinggi dengan pilar-pilar raksasa. Tujuannya untuk menggambarkan kebesaran Tuhan sekaligus agar orang yang beribadah di dalamnya merasa kecil di hadapan Tuhan,” ujar Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata itu.
Dia mencontohkan, pembangunan gereja-gereja di Roma seringkali melibatkan arsitek dan seniman besar sekelas Leonardo da Vinci, Michelengo, atau Bernini.
Di Indonesia, candi-candi didirikan di atas bukit. Pagoda dan Wihara dibangun hingga tingkat sembilan. Masjid-masjid dihiasai kubah raksasa dengan menara setinggi ratusan meter.
Langgar Deprok seakan melawan filsafat bermegah-megahan itu. Saat masjid lain berlomba kemegahan, dia memilih menjadi surau kecil tetapi makmur oleh aktivitas ibadah umatnya. (panji_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.