Masjid As Syuhada
Kenangan untuk Pahlawan
BULAN puasa yang kebetulan dekat dekat HUT Kemerdekaan, mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan. Di Kampung Bugen, ada sebuah masjid yang menjadi tetenger perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Namanya Masjid Syuhada (dari bahasa arab yang berarti para pahlawan).
Masjid yang terletak di Jalan Syuhada Barat III RT 01/RW 22 Kelurahan Tlogosari Kulon Kecamatan Pedurungan ini dulunya menjadi markas para pemuda yang tergabung dalam laskar fi sabilillah dan hizbullah untuk melawan Jepang dan Belanda. Menurut penuturan sesepuh Bugen Mukhtar, di masjid ini dulu baru berupa rumah panggung pada tahun 50an. Para pemuda pejuang berkumpul untuk bersembunyi dari sergapan penjajah kafir. Namun Jepang yang menyerang ke kampung memberondong mereka dalam sebuah pengepungan, sehingga semuanya gugur sebagai syahid (jamak: syuhada).
Sebuah perintah agar Nabi mengangkat senjata, guna melawan hegemoni suku Quraisy yang selalu menistakan penganut Islam kala itu. Perang yang di kemudian hari dikenal sebagai Perang Badar. Perang di mana jumlah sedikit tidak membuat pasukan Islam terkalahkan.
Kedua, kutiba ‘alaikumul qishash yang semakna dengan telah diwajibkan untuk melaksanakan hukum balasan setimpal. Ketiga, kutiba ‘alaikumusy- syhiam, yang bermakna (telah) diwajibkan bagi kalian (pengikut Muhammad) untuk berpuasa. Sama-sama menggunakan diksi kutiba.
Ada apa dengan kesengajaan Allah dengan penggunaan diksi perintah puasa disetarakan dengan perintah perang pertama kali dan perintah penerapan hukum qishash?
Sayyid Qutub, penulis tafsir Quran tematik Fii dzilalil Qur’an, menyebut kesengajaan tersebut menunjukkan kesetaraan urgensitas. Atau dengan kata lain, bahwa perang Badar, perang yang diwajibkan untuk mempertahankan eksistensi ummat Muhammad di tengah hegemoni dan penistaan kelompok mayoritas penguasa setempat memiliki nilai penting yang sebangun dan setara dengan kegiatan puasa yang dimaksudkan untuk mempertahankan jiwa islam di setiap individu penganutnya.
Karenanya, sebutan kemenangan (futuhat) yang diberikan kepada para as-sabiqunal awwalun (generasi awal pengikut Muhammad) --yang berperang dengan senjata dan milisi terbatas saat melawan Tentara Quraisy yang terlatih dan berjumlah jauh lebih banyak-- juga dipakai untuk orang yang telah berhasil mengalahkan nafsunya dalam puasa.
Sebegitu urgen perintah puasa bagi orang Islam, sampai-sampai bulan puasa atau bulan Ramadan juga disebut sebagai syahrut tarbiyyah alias bulan concentration camp, atau bulan pendidikan untuk melatih kematangan jiwa kita menuju syakhsiyah islamiyah alias insal kamil alias manusia paripurna.
Lihat saja, pelaksanaan bulan puasa yang dihitung berdasarkan penanggalan bulan (qomariyah) dan bukannya menggunakan penanggalan matahari (masehi).
Apa maknanya?. Maknanya, setiap orang yang berpuasa akan merasakan bagaimana rasa lapar, dahaga, dan mengekang nafsunya di semua musim. Kita yang di Indonesia akan pernah merasakan puasa di musim kemarau dan hujan, penduduk negara dengan empat musim juga akan pernah merasakan puasa di musim panas, semi, salju (dingin), dan, gugur. Cukup mudah dipahami, jika sepeninggal puasa, orang yang berhasil ‘mendidik dirinya sendiri menjadi manusia paripurna, mendapat sebutan fitri. Jiwanya akan seputih kertas lakmus alias kembali ke nilai asal kehidupan yang tak lagi terbebani dosa kepada Allah di masa lalunya. (dayat_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
BULAN puasa yang kebetulan dekat dekat HUT Kemerdekaan, mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan. Di Kampung Bugen, ada sebuah masjid yang menjadi tetenger perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Namanya Masjid Syuhada (dari bahasa arab yang berarti para pahlawan).
Masjid yang terletak di Jalan Syuhada Barat III RT 01/RW 22 Kelurahan Tlogosari Kulon Kecamatan Pedurungan ini dulunya menjadi markas para pemuda yang tergabung dalam laskar fi sabilillah dan hizbullah untuk melawan Jepang dan Belanda. Menurut penuturan sesepuh Bugen Mukhtar, di masjid ini dulu baru berupa rumah panggung pada tahun 50an. Para pemuda pejuang berkumpul untuk bersembunyi dari sergapan penjajah kafir. Namun Jepang yang menyerang ke kampung memberondong mereka dalam sebuah pengepungan, sehingga semuanya gugur sebagai syahid (jamak: syuhada).
Sebuah perintah agar Nabi mengangkat senjata, guna melawan hegemoni suku Quraisy yang selalu menistakan penganut Islam kala itu. Perang yang di kemudian hari dikenal sebagai Perang Badar. Perang di mana jumlah sedikit tidak membuat pasukan Islam terkalahkan.
Kedua, kutiba ‘alaikumul qishash yang semakna dengan telah diwajibkan untuk melaksanakan hukum balasan setimpal. Ketiga, kutiba ‘alaikumusy- syhiam, yang bermakna (telah) diwajibkan bagi kalian (pengikut Muhammad) untuk berpuasa. Sama-sama menggunakan diksi kutiba.
Ada apa dengan kesengajaan Allah dengan penggunaan diksi perintah puasa disetarakan dengan perintah perang pertama kali dan perintah penerapan hukum qishash?
Sayyid Qutub, penulis tafsir Quran tematik Fii dzilalil Qur’an, menyebut kesengajaan tersebut menunjukkan kesetaraan urgensitas. Atau dengan kata lain, bahwa perang Badar, perang yang diwajibkan untuk mempertahankan eksistensi ummat Muhammad di tengah hegemoni dan penistaan kelompok mayoritas penguasa setempat memiliki nilai penting yang sebangun dan setara dengan kegiatan puasa yang dimaksudkan untuk mempertahankan jiwa islam di setiap individu penganutnya.
Karenanya, sebutan kemenangan (futuhat) yang diberikan kepada para as-sabiqunal awwalun (generasi awal pengikut Muhammad) --yang berperang dengan senjata dan milisi terbatas saat melawan Tentara Quraisy yang terlatih dan berjumlah jauh lebih banyak-- juga dipakai untuk orang yang telah berhasil mengalahkan nafsunya dalam puasa.
Sebegitu urgen perintah puasa bagi orang Islam, sampai-sampai bulan puasa atau bulan Ramadan juga disebut sebagai syahrut tarbiyyah alias bulan concentration camp, atau bulan pendidikan untuk melatih kematangan jiwa kita menuju syakhsiyah islamiyah alias insal kamil alias manusia paripurna.
Lihat saja, pelaksanaan bulan puasa yang dihitung berdasarkan penanggalan bulan (qomariyah) dan bukannya menggunakan penanggalan matahari (masehi).
Apa maknanya?. Maknanya, setiap orang yang berpuasa akan merasakan bagaimana rasa lapar, dahaga, dan mengekang nafsunya di semua musim. Kita yang di Indonesia akan pernah merasakan puasa di musim kemarau dan hujan, penduduk negara dengan empat musim juga akan pernah merasakan puasa di musim panas, semi, salju (dingin), dan, gugur. Cukup mudah dipahami, jika sepeninggal puasa, orang yang berhasil ‘mendidik dirinya sendiri menjadi manusia paripurna, mendapat sebutan fitri. Jiwanya akan seputih kertas lakmus alias kembali ke nilai asal kehidupan yang tak lagi terbebani dosa kepada Allah di masa lalunya. (dayat_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.