Masjid Menyanan
Diponegoro Pernah Singgah
MEMASUKI kawasan Pecinan Semarang, suasana oriental terasa kuat. Bangunanbangunan berarsitektur Tionghoa tampak berdiri di sejumlah tempat. Sementara seperti biasa aktivitas perdagangan menjadi urat nadi utama di kawasan ini. Namun siapa sangka di sebuah sudut kompleks Pecinan Semarang ini terdapat sebuah masjid.
Masjid yang pertama kali ditemukan oleh Kiai Maskur Hamzah pada tanggal 10 Nopember 1965 ini, menurut ceritanya merupakan peninggalan Pangeran Diponegoro semasa menjadi pelarian saat diburu tentara kolonial Hindia Belanda. Terletak di ujung Jalan Beteng, tidak jauh dari kawasan Pecinan.
Namun bentuk masjid itu sudah berubah total karena sudah direnovasi tiga kali, masingmasing tahun 1970, 1980, dan terakhir tahun 2000. Satusatunya bagian asli bangunan yang masih disisakan oleh pengurus masjid adalah enam sokoguru (empat di antaranya tertera tulisan Arab) dan rangka atap masjid ini.
Untuk menemukan masjid ini agak sulit karena jauh dari ruas jalan utama. Kita harus menelusur dulu sebuah gang sempit yang bernama Menyanan Kecil. Petunjuk paling mudah adalah sebuah papan bertuliskan Masjid Annur di Jalan Beteng. Jika hanya melihat sepintas, tak bakalan orang percaya jika masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Diponegoro.
Takmir Masjid Annur, Imam Syafei, mengatakan bahwa dia tak mengetahui secara jelas kebenaran kabar yang mengatakan masjid ini peninggalan Diponegoro. Bukti-bukti otentik yang menjadi alasannya hampir tidak ada. Namun dia menunjukkan satu-satunya saksi mata yang masih tersisa.
Orang lain yang paling tahu tentang sejarah masjid ini adalah Pak Masjkur Ridwan yang sekarang tinggal di Kampung Suburan. Dua orang lainnya yaitu Masjhud Ridwan dan Masrur Ridwan telah meninggal dunia. “Mereka bertiga yang dulu menemukan reruntuhan masjid ini,” jelas Imam Syafei.
Tiga bersaudara Masjhud Ridwan, Masrur Ridwan dan Masjkur Ridwan, mencari keberadaan masjid yang dimaksud. Setelah berupaya keras mencari di sepanjang gang Menyanan Kecil, akhirnya ditemukanlah sebuah bangunan di balik tembok tinggi.
Di tengah-tengah kampung, berada di balik tembok yang tinggi ada sebuah bangunan berukuran
3×3 meter. Atapnya berbentuk cungkup terbuat dari genteng. “Ada dua pintu masuk dan satu pintu menuju kamar mandi. Yang menguatkan bahwa bangunan itu masjid adalah adanya ruang imam,” paparnya. Untuk menemukan masjid itu cukup sulit karena dikelilingi tembok yang sangat tinggi dan tebalnya satu bata. Mereka harus bersusah payah memanjat dengan tangga bambu untuk dapat melihat secara jelas masjid itu.
Saat ditemukan kembali, tembok masjid itu hanya separuh. Maka saat itu seluruh warga berupaya untuk membangun kembali masjid tersebut. Dananya kala itu dikumpulkan dari kalangan umat.
masjid itu memang peninggalan Pangeran Diponegoro. Itu berdasarkan bukti ditemukannya sebilah keris di masjid tersebut. “Sayang kini keberadaan keris itu tak lagi diketahui,” ucap Masjkur.
Cerita yang berkembang di masyarakat Semarang, Pangeran Diponegoro pernah singgah di masjid ini ketika menghindari kejaran tentara Belanda. Saat itu beliau juga sempat belajar agama dari imam masjid yang bernama H Thoyib.
Fakta ini kemungkinan benar juga. Tentara Belanda pasti tidak menyangka bahwa Diponegoro bersembunyi di kawasan Pecinan yang banyak dihuni warga nonmuslim.
Takmir Masjid Annur Imam Syafe’i memiliki cerita lain yang mungkin bisa menguatkan bahwa masjid Annur ini merupakan peninggalan Diponegoro. Dia mendasarkan pada pengalaman spiritual dari orang-orang yang pernah beribadah di Masjid Annur.
Dahulu ada tiga orang yang berasal dari Manyaran Semarang datang padanya. “Mereka mengatakan secara gaib didatangi seseorang yang mengenakan jubah mirip Pangeran Diponegoro saat menjalani mujahadah di Masjid Wonolopo Manyaran. Sosok itu lalu menunjuk pada Masjid Annur Menyanan Kecil,” jelas Imam Syafei.
Mereka lalu minta izin pada Imam Syafei untuk melakukan iktikaf di Masjid Annur. Imam Syafei sendiri mengaku banyak orang yang didatangi sosok mirip Pangeran Diponegoro ketika ibadah di Masjid Annur.
Masjid tua ini pada tahun 1993 dirombak total menjadi bangunan bertingkat dan megah. Satusatunya bagian masjid tua yang masih dipertahankan adalah enam pilar setinggi 2,5 meter. Bagian bawah pilar tua itu telah ditutup dengan keramik sementara bagian atasnya nampak sudah terkelupas temboknya. Lantas mengapa bisa muncul bangunan masjid di kawasan Pecinan? Imam Syafei mengatakan kemungkinan masjid ini sengaja dibangun oleh segelintir umat muslim Tionghoa. Mungkin muslim Tionghoa itu takut beribadah di masjid umum. Dahulu orang Tionghoa dilarang menganut agama Islam. “Makanya mereka membangun masjid khusus secara tersembunyi untuk menunaikan salat jamaah,” kata Imam Syafei.
Orang Tionghoa yang beragama Islam tidak mau terang-terangan menjalankan ibadahnya. Akhirnya mereka membangun tempat ibadah tersendiri. Dengan seperti itu artinya mereka juga tak ingin kehilangan hak-hak istimewa yang diberikan pemerintah Hindia Belanda sebagai warga negara middle class. “Jika ketahuan mereka memeluk Islam bisa-bisa mereka bakal kehilangan hak istimewa dan disamakan dengan orang-orang pribumi,” pungkasnya. (dayat_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
MEMASUKI kawasan Pecinan Semarang, suasana oriental terasa kuat. Bangunanbangunan berarsitektur Tionghoa tampak berdiri di sejumlah tempat. Sementara seperti biasa aktivitas perdagangan menjadi urat nadi utama di kawasan ini. Namun siapa sangka di sebuah sudut kompleks Pecinan Semarang ini terdapat sebuah masjid.
Masjid yang pertama kali ditemukan oleh Kiai Maskur Hamzah pada tanggal 10 Nopember 1965 ini, menurut ceritanya merupakan peninggalan Pangeran Diponegoro semasa menjadi pelarian saat diburu tentara kolonial Hindia Belanda. Terletak di ujung Jalan Beteng, tidak jauh dari kawasan Pecinan.
Namun bentuk masjid itu sudah berubah total karena sudah direnovasi tiga kali, masingmasing tahun 1970, 1980, dan terakhir tahun 2000. Satusatunya bagian asli bangunan yang masih disisakan oleh pengurus masjid adalah enam sokoguru (empat di antaranya tertera tulisan Arab) dan rangka atap masjid ini.
Untuk menemukan masjid ini agak sulit karena jauh dari ruas jalan utama. Kita harus menelusur dulu sebuah gang sempit yang bernama Menyanan Kecil. Petunjuk paling mudah adalah sebuah papan bertuliskan Masjid Annur di Jalan Beteng. Jika hanya melihat sepintas, tak bakalan orang percaya jika masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Diponegoro.
Takmir Masjid Annur, Imam Syafei, mengatakan bahwa dia tak mengetahui secara jelas kebenaran kabar yang mengatakan masjid ini peninggalan Diponegoro. Bukti-bukti otentik yang menjadi alasannya hampir tidak ada. Namun dia menunjukkan satu-satunya saksi mata yang masih tersisa.
Orang lain yang paling tahu tentang sejarah masjid ini adalah Pak Masjkur Ridwan yang sekarang tinggal di Kampung Suburan. Dua orang lainnya yaitu Masjhud Ridwan dan Masrur Ridwan telah meninggal dunia. “Mereka bertiga yang dulu menemukan reruntuhan masjid ini,” jelas Imam Syafei.
Tiga bersaudara Masjhud Ridwan, Masrur Ridwan dan Masjkur Ridwan, mencari keberadaan masjid yang dimaksud. Setelah berupaya keras mencari di sepanjang gang Menyanan Kecil, akhirnya ditemukanlah sebuah bangunan di balik tembok tinggi.
Di tengah-tengah kampung, berada di balik tembok yang tinggi ada sebuah bangunan berukuran
3×3 meter. Atapnya berbentuk cungkup terbuat dari genteng. “Ada dua pintu masuk dan satu pintu menuju kamar mandi. Yang menguatkan bahwa bangunan itu masjid adalah adanya ruang imam,” paparnya. Untuk menemukan masjid itu cukup sulit karena dikelilingi tembok yang sangat tinggi dan tebalnya satu bata. Mereka harus bersusah payah memanjat dengan tangga bambu untuk dapat melihat secara jelas masjid itu.
Saat ditemukan kembali, tembok masjid itu hanya separuh. Maka saat itu seluruh warga berupaya untuk membangun kembali masjid tersebut. Dananya kala itu dikumpulkan dari kalangan umat.
masjid itu memang peninggalan Pangeran Diponegoro. Itu berdasarkan bukti ditemukannya sebilah keris di masjid tersebut. “Sayang kini keberadaan keris itu tak lagi diketahui,” ucap Masjkur.
Cerita yang berkembang di masyarakat Semarang, Pangeran Diponegoro pernah singgah di masjid ini ketika menghindari kejaran tentara Belanda. Saat itu beliau juga sempat belajar agama dari imam masjid yang bernama H Thoyib.
Fakta ini kemungkinan benar juga. Tentara Belanda pasti tidak menyangka bahwa Diponegoro bersembunyi di kawasan Pecinan yang banyak dihuni warga nonmuslim.
Takmir Masjid Annur Imam Syafe’i memiliki cerita lain yang mungkin bisa menguatkan bahwa masjid Annur ini merupakan peninggalan Diponegoro. Dia mendasarkan pada pengalaman spiritual dari orang-orang yang pernah beribadah di Masjid Annur.
Dahulu ada tiga orang yang berasal dari Manyaran Semarang datang padanya. “Mereka mengatakan secara gaib didatangi seseorang yang mengenakan jubah mirip Pangeran Diponegoro saat menjalani mujahadah di Masjid Wonolopo Manyaran. Sosok itu lalu menunjuk pada Masjid Annur Menyanan Kecil,” jelas Imam Syafei.
Mereka lalu minta izin pada Imam Syafei untuk melakukan iktikaf di Masjid Annur. Imam Syafei sendiri mengaku banyak orang yang didatangi sosok mirip Pangeran Diponegoro ketika ibadah di Masjid Annur.
Masjid tua ini pada tahun 1993 dirombak total menjadi bangunan bertingkat dan megah. Satusatunya bagian masjid tua yang masih dipertahankan adalah enam pilar setinggi 2,5 meter. Bagian bawah pilar tua itu telah ditutup dengan keramik sementara bagian atasnya nampak sudah terkelupas temboknya. Lantas mengapa bisa muncul bangunan masjid di kawasan Pecinan? Imam Syafei mengatakan kemungkinan masjid ini sengaja dibangun oleh segelintir umat muslim Tionghoa. Mungkin muslim Tionghoa itu takut beribadah di masjid umum. Dahulu orang Tionghoa dilarang menganut agama Islam. “Makanya mereka membangun masjid khusus secara tersembunyi untuk menunaikan salat jamaah,” kata Imam Syafei.
Orang Tionghoa yang beragama Islam tidak mau terang-terangan menjalankan ibadahnya. Akhirnya mereka membangun tempat ibadah tersendiri. Dengan seperti itu artinya mereka juga tak ingin kehilangan hak-hak istimewa yang diberikan pemerintah Hindia Belanda sebagai warga negara middle class. “Jika ketahuan mereka memeluk Islam bisa-bisa mereka bakal kehilangan hak istimewa dan disamakan dengan orang-orang pribumi,” pungkasnya. (dayat_harian semarang)
___________
Dipersilahkan mengcopy dan menyebarluaskan artikel pada blog ini dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk disalahgunakan. Namun perlu diingat, wajib menyertakan sumber blog ini yaitu http://hariansemarangbanget.blogspot.com. (terima kasih).
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.