Dari “Ji Kau Meh” hingga “Cap Go Meh”
TAHUN Macan akhirnya datang juga. Kemeriahan perayaan tampak di mana-mana sejak jauh hari sebelumnya. Namun terpenting adalah doa agar tetap diberi keselamatan, berkah, dan juga kemakmuran di sepanjang tahun Macan Logam ini.
Pengamat kebudayaan Tionghoa, HAS Pratana mengatakan, berbagai ritual yang dilakukan menjelang dan sesudah datangnya tahun baru memang cukup banyak. Antara lain sembahyang akhir tahun atau Ji Kau Meh, yang bertujuan untuk mendoakan para orangtua yang sudah meninggal dunia.
Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang tahun baru yang dilakukan mulai pagi pada tanggal 1, bulan 1 penanggalan Cina. Disusul lagi dengan ritual Pay Cia, yakni sungkem atau hormat pada orangtua.
“Pada hari pertama Tahun Baru Imlek, biasanya diisi dengan makanmakan bersama seluruh keluarga. Selain Pay Cia atau sungkem kepada orangtua, ini merupakan tradisi yang harus terus diajarkan pada generasi muda,” kata Pratana.
Terkait sesaji yang disediakan, Pratana mengatakan, semua mengandung makna filosofis tinggi. Penentuan jenis sesajinya tidak boleh dilakukan secara sembarangan, karena masing-masing barang memiliki perlambang.
Pratana menyebutkan, umat Konghucu sering menggunakan ti kue atau kue keranjang, yang terbuat dari tepung beras. Kue tersebut sebenarnya merupakan makanan musim dingin, saat musim hujan dan tanah tidak dapat ditanami.
Kue keranjang yang bersifat lengket dan berasa manis, perlambang untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, serta membuat hidup terasa manis atau bahagia. Wajar jika kue ini selalu ada pada perayaan Imlek.
“Ada juga hwat kue yang dikenal dengan nama kue mangkok atau kue moho, memiliki bentuk seperti bunga mekar, yang melambangkan rezeki manusia yang diharapkan selalu mekar dan berkembang,” ungkapnya.
Sesaji berikutnya, dijelaskan Pratana, adalah kue berbentuk kura-kura yang dinamakan toa ku. Kura-kura merupakan binatang yang memiliki umur paling panjang dibandingkan hewan lainnya, sehingga melambangkan keabadian. Selain itu, menurutnya, masih terdapat banyak sesaji sebagai perlengkapan sembahyang.
Sedangkan dari golongan buahbuah an yang dijadikan sesaji, ternyata terdapat beberapa nama buah yang banyak dikenal, seperti jeruk, apel, pisang emas, pisang raja, nanas, manggis, dan sebagainya. Sesaji dari jenis sayuran juga tidak boleh terlupakan, terutama golongan sawi-sawian yang harus ada dalam setiap sesaji yang dipersembahkan kepada para dewa.
Menganut Perlambang
Selaras dengan paparan Pratana, Sekretaris Yayasan Khong Kauw Hwee Eko Wardojo mengatakan, tradisi Tionghoa memang banyak menganut perlambang-perlambang, termasuk dalam ajaran-ajaran yang dibawa oleh Konfusian.
“Seperti doa yang dibahasakan secara diam dalam perlambang-perlambang, dan perlambang itu biasanya ditujukan kepada benda yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta dengan penuh pengharapan agar tahun mendatang lebih baik,” kata Eko.
Perayaan Imlek memang belum usai, karena masih ada tradisi yang disebut Cap Go Meh, yakni melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti “hari kelima belas dari bulan pertama.”
Dalam perayaan Cap Go Meh, diungkapkan Eko, tidak pernah ketinggal an adanya lontong opor.
Perayaan dengan makanan ini, hanya ada di Kota Semarang, sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Cina. (puji - harian semarang)
Pengamat kebudayaan Tionghoa, HAS Pratana mengatakan, berbagai ritual yang dilakukan menjelang dan sesudah datangnya tahun baru memang cukup banyak. Antara lain sembahyang akhir tahun atau Ji Kau Meh, yang bertujuan untuk mendoakan para orangtua yang sudah meninggal dunia.
Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang tahun baru yang dilakukan mulai pagi pada tanggal 1, bulan 1 penanggalan Cina. Disusul lagi dengan ritual Pay Cia, yakni sungkem atau hormat pada orangtua.
“Pada hari pertama Tahun Baru Imlek, biasanya diisi dengan makanmakan bersama seluruh keluarga. Selain Pay Cia atau sungkem kepada orangtua, ini merupakan tradisi yang harus terus diajarkan pada generasi muda,” kata Pratana.
Terkait sesaji yang disediakan, Pratana mengatakan, semua mengandung makna filosofis tinggi. Penentuan jenis sesajinya tidak boleh dilakukan secara sembarangan, karena masing-masing barang memiliki perlambang.
Pratana menyebutkan, umat Konghucu sering menggunakan ti kue atau kue keranjang, yang terbuat dari tepung beras. Kue tersebut sebenarnya merupakan makanan musim dingin, saat musim hujan dan tanah tidak dapat ditanami.
Kue keranjang yang bersifat lengket dan berasa manis, perlambang untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, serta membuat hidup terasa manis atau bahagia. Wajar jika kue ini selalu ada pada perayaan Imlek.
“Ada juga hwat kue yang dikenal dengan nama kue mangkok atau kue moho, memiliki bentuk seperti bunga mekar, yang melambangkan rezeki manusia yang diharapkan selalu mekar dan berkembang,” ungkapnya.
Sesaji berikutnya, dijelaskan Pratana, adalah kue berbentuk kura-kura yang dinamakan toa ku. Kura-kura merupakan binatang yang memiliki umur paling panjang dibandingkan hewan lainnya, sehingga melambangkan keabadian. Selain itu, menurutnya, masih terdapat banyak sesaji sebagai perlengkapan sembahyang.
Sedangkan dari golongan buahbuah an yang dijadikan sesaji, ternyata terdapat beberapa nama buah yang banyak dikenal, seperti jeruk, apel, pisang emas, pisang raja, nanas, manggis, dan sebagainya. Sesaji dari jenis sayuran juga tidak boleh terlupakan, terutama golongan sawi-sawian yang harus ada dalam setiap sesaji yang dipersembahkan kepada para dewa.
Menganut Perlambang
Selaras dengan paparan Pratana, Sekretaris Yayasan Khong Kauw Hwee Eko Wardojo mengatakan, tradisi Tionghoa memang banyak menganut perlambang-perlambang, termasuk dalam ajaran-ajaran yang dibawa oleh Konfusian.
“Seperti doa yang dibahasakan secara diam dalam perlambang-perlambang, dan perlambang itu biasanya ditujukan kepada benda yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta dengan penuh pengharapan agar tahun mendatang lebih baik,” kata Eko.
Perayaan Imlek memang belum usai, karena masih ada tradisi yang disebut Cap Go Meh, yakni melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti “hari kelima belas dari bulan pertama.”
Dalam perayaan Cap Go Meh, diungkapkan Eko, tidak pernah ketinggal an adanya lontong opor.
Perayaan dengan makanan ini, hanya ada di Kota Semarang, sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Cina. (puji - harian semarang)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.