Berita

[Berita][bleft]

Artikel

[Ekonomi][twocolumns]

Menjual Jasa, Tak Pasti Penghasilannya

Di pagi hari yang cerah, Sarmo (60) telah siap dengan alat kerjanya. Sebuah kendaraan pengangkut barang bertenaga manusia. Tak lain gerobak alias songkro. Profesinya memang kuli songkro.

SETIAP hari ia berangkat dari tempat persinggahannya di daerah Purnosari, Kelurahan Kaligawe. Di situ tinggal pula puluhan penarik songkro, tukang becak, kuli panggul dan sebagainya.

Sarmo biasa bekerja berkelompok. Dia dan dua atau tiga teman seprofesi, berkeliling ke Kota Semarang membawa gerobak sewaan yang bertarif Rp 4 ribu per hari. Berharap ada yang menyuruh mengangkut barang dan memberi upah untuk tenaganya.

Warga perumahan kadangkala memberi order mengangkut brangkal bekas bongkaran rumah yang sedang direnovasi. Membuang sampah juga ia terima. Sarmo hanya berani mematok tarif Rp 10 ribu untuk order ringan. Jika mendapat tugas berat yang memakan waktu seharian, ia meminta ongkos angkut per rit seharga Rp 5 ribu. Pada saat ramai order, uang yang bisa ia dapatkan kurang lebih Rp 50 ribu.

Dikurangi biaya makan, rokok dan sewa songkro, ia bisa menyimpan Rp 15 ribu-Rp 30 ribu. Dikumpulkan untuk diberikan kepada istrinya di desa asalnya, Karang Rayung, Purwodadi.

Karena hanya menjual jasa, tak bisa dipastikan penghasilannya. Terkadang tanpa rezjeki sama sekali. Jika sepi, Sarmo maupun rekannya rela menunggu sampai malam jika hingga sore hari tidak ada orang yang menyewa jasanya. Dia tunggu sampai pukul 22.00 di tempat yang mudah
dilihat orang di perumahan padat penduduk.

Sebulan sekali ia pulang untuk mengirimi hasil menguras keringatnya di Kota Atlas ini ini. Istrinya, Suriyem (54) menjadi petani penggarap lahan orang lain di kampung. Wanita yang ia nikahi 35 tahun itu biasa bercocok tanam tembakau, padi, jagung atau kedelai. Empat anaknya berkumpul dengan sang ibu. Yaitu Hartini, Siswanto, Iiswanto, dan Harianto yang duduk di kelas XI SMP. “Apapun pekerjaan itu baik mas, asal halal. Rezeki sudah ada yang mengatur,” tuturnya polos.

Jika melihat cara kerjanya, orang bisa miris. Lebih rekoso daripada tukang becak. Jika tukang becak masih bisa “berwibawa” duduk di sadel dan kakinya mengayuh pedal. Sedang Sarmo, berjalan kaki dengan punggung terikat tali. Tangannya memegangi gagang kayu, menarik beban
seberat 1 kuintal hingga 1 ton barang.

Membayangkan rodi atau romusha zaman penjajahan, saat si majikan menyuruh ia memindahkan barang. Jika beban cukup berat, ia mencopot sandal dan kaos. Agar langkahnya lancar dan keringatnya bebas bercucuran.

Betapa trenyuh melihat napasnya ngos-ngosan saat melewati jalan menanjak, sementara di sampingnya lewat dokar bertenaga kuda. Seolah derajatnya sebagai manusia sama dengan hewan penarik delman.

Di saat sama, truk atau kol contang berseliweran mendahuluinya seolah mengejek kelambatan jalannya. Jangan bandingkan kontrasnya dengan penumpang mobil mewah yang berjas-berdasi, tertutup kaca di ruang ber-AC dan sopir pribadi.

Di negeri yang telah 65 tahun merdeka ini, Sarmo menerima nasibnya tanpa mengeluh. Bukan rakyat jika mudah menyerah. (ichwan, tedy-harian semarang)

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.


Desakundi

[Desakundi][threecolumns]

Pendidikan

[Pendidikan][list]

Ekonomi

[Ekonomi][grids]

Politik

[Politik][bsummary]

Oase

[Oase][threecolumns]
Create gif animations. Loogix.com. Animated avatars. Animated avatar. Motley Animated avatar. Gif animator. Animated avatar. Gif animator. Zoom Gif animator. Motley Create gif animations. Zoom Animated avatar. Movie Create gif animations. Gif animator. Zoom Animated avatar. Loogix.com. Animated avatars. Negative Animated avatar. Zoom Rumah Zakat Animated avatar. Negative Babyface, Harian Semarang liquid executive club, tonitok rendezvous