Mengembalikan Sisi Sakralitas Pernikahan
Oleh Ahmad Khotim Muzakka
Peneliti Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
Peneliti Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
Perhatian publik terhadap isu nikah siri tersedot habis oleh kasus Bank Century belum lama ini. Masalah “merakyat” itu tak boleh dibiarkan begitu saja, mengingat hal itu merupakan keseharian yang dekat dengan kehidupan kita.
Wilayah privat seseorang, baru-baru ini dinilai telah diintervensi negara. Katanya negara terlalu ekstrim menerapkan sistem yang cenderunglogosentris dan lebih-lebih dinilai mencampuri “urusan” agama.
Pandangan tersebut terlihat dari betapa banyaknya suara kontra dengan Rancangan Undang-Undang tentang pemidanaan pernikahan siri beberapa waktu lalu. Secara etis, pernikahan memang hak individual, namun bisa menjadi masalah publik yang pada akhirnya menghadirkan ironisme di tengah masyarakat.
Dalam kajian fiqh klasik, pernikahan memang tak terbagi dalam dua kategorisasi, yakni nikah siri dan resmi. Menikah adalah pernikahan itu sendiri, tanpa dilabeli istilah “moderen” tadi.
Nikah pun tak butuh pencatatan tertulis. Yang dibutuhkan adalah komitmen kedua belah pihak guna mengarungi bahtera rumah tangga. Kalau memang ini yang dipermasalahkan, bukankah menikah juga tidak membutuhkan acara gegap-gempita yang melahap dana yang tak sedikit, sebagaimana berlaku di tengah masyarakat.
Lalu salahkah bila ada “kepedulian” negara terhadap nikah siri yang sering diselewengkan ini. Dalam kasus yang pernah penulis jumpai, nikah siri dilakukan hanya karena alasan biaya. Karena dirasa dengan mengadakan nikah resmi identik dengan diadakannya perayaan besar-besaran dan menelan banyak uang dan tidak akan memperoleh tujuan utama melangsungkan pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Karena itu kita harus memikirkan bagaimana menyiasati agar biaya pernikahan bisa tertutup setelah prosesi tersebut cepat selesai. Atas dasar itu, penulis tidak mempermasalahkan jika nikah siri “terpaksa” digelar. Itu pun, sejauh pengamatan penulis, akan berakhir pada pencatatan jika ada uang untuk meresmikan pada pihak berwenang dikemudian hari.
Contoh saja, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Nikah sudah digadaikan peranannya oleh uang. Untuk kategori janda dipatok cukup melepas uang sebesar Rp 15 juta. Si laki-laki bisa menikahinya dan sudah disediakan penghulu sekaligus wali.
Sementara jika menghendaki yang masih perawan, harus berani merelakan kocek lebih dalam. Untuk yang ini, harganya berkisar 35 juta. Hal ini sesuai observasi Islamic Centre for Development and Human Rights Empowerment (ICDHRE).
Ironisnya, di sana terdapat makelar yang mengurusi pernakpernik dan menyalurkannya. Hati saya bergetar, bukankah praktik seperti ini tak berbeda dengan (maaf) pelacuran? Hanya saja dipoles dengan atas nama pernikahan.
Legitimasi agama yang menandaskan pernikahan dinilai sah tanpa menyertakan pencatatan di institusi KUA, seolah melegalkannya. Pernikahan, dalam hal ini, menjadi tercoreng esensi dan tujuannya. Parahnya lagi, ada yang pernah melakukan nikah siri sebanyak 29 kali. Betapa kasihannya pemahaman berkeagamaan masyarakat dewasa ini. Nikah layaknya membeli semacam barang dagangan.
Nikah bagaikan memperjual-belikan barang. Bisa ditawar dan digoyang, sesuai persetujuan dan “nafsu” dua belah pihak. Ada uang, ada barang merupakan hal lumrah, di sini, saya tidak memperdebatkan hal itu karena mereka, dengan alasan yang retoris, mengaku terhimpit kebutuhan sehari-hari yang melambung tinggi. Lebih dari itu, bagaimana sakralitas pernikahan dipahami. (*)
Wilayah privat seseorang, baru-baru ini dinilai telah diintervensi negara. Katanya negara terlalu ekstrim menerapkan sistem yang cenderunglogosentris dan lebih-lebih dinilai mencampuri “urusan” agama.
Pandangan tersebut terlihat dari betapa banyaknya suara kontra dengan Rancangan Undang-Undang tentang pemidanaan pernikahan siri beberapa waktu lalu. Secara etis, pernikahan memang hak individual, namun bisa menjadi masalah publik yang pada akhirnya menghadirkan ironisme di tengah masyarakat.
Dalam kajian fiqh klasik, pernikahan memang tak terbagi dalam dua kategorisasi, yakni nikah siri dan resmi. Menikah adalah pernikahan itu sendiri, tanpa dilabeli istilah “moderen” tadi.
Nikah pun tak butuh pencatatan tertulis. Yang dibutuhkan adalah komitmen kedua belah pihak guna mengarungi bahtera rumah tangga. Kalau memang ini yang dipermasalahkan, bukankah menikah juga tidak membutuhkan acara gegap-gempita yang melahap dana yang tak sedikit, sebagaimana berlaku di tengah masyarakat.
Lalu salahkah bila ada “kepedulian” negara terhadap nikah siri yang sering diselewengkan ini. Dalam kasus yang pernah penulis jumpai, nikah siri dilakukan hanya karena alasan biaya. Karena dirasa dengan mengadakan nikah resmi identik dengan diadakannya perayaan besar-besaran dan menelan banyak uang dan tidak akan memperoleh tujuan utama melangsungkan pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Karena itu kita harus memikirkan bagaimana menyiasati agar biaya pernikahan bisa tertutup setelah prosesi tersebut cepat selesai. Atas dasar itu, penulis tidak mempermasalahkan jika nikah siri “terpaksa” digelar. Itu pun, sejauh pengamatan penulis, akan berakhir pada pencatatan jika ada uang untuk meresmikan pada pihak berwenang dikemudian hari.
Contoh saja, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Nikah sudah digadaikan peranannya oleh uang. Untuk kategori janda dipatok cukup melepas uang sebesar Rp 15 juta. Si laki-laki bisa menikahinya dan sudah disediakan penghulu sekaligus wali.
Sementara jika menghendaki yang masih perawan, harus berani merelakan kocek lebih dalam. Untuk yang ini, harganya berkisar 35 juta. Hal ini sesuai observasi Islamic Centre for Development and Human Rights Empowerment (ICDHRE).
Ironisnya, di sana terdapat makelar yang mengurusi pernakpernik dan menyalurkannya. Hati saya bergetar, bukankah praktik seperti ini tak berbeda dengan (maaf) pelacuran? Hanya saja dipoles dengan atas nama pernikahan.
Legitimasi agama yang menandaskan pernikahan dinilai sah tanpa menyertakan pencatatan di institusi KUA, seolah melegalkannya. Pernikahan, dalam hal ini, menjadi tercoreng esensi dan tujuannya. Parahnya lagi, ada yang pernah melakukan nikah siri sebanyak 29 kali. Betapa kasihannya pemahaman berkeagamaan masyarakat dewasa ini. Nikah layaknya membeli semacam barang dagangan.
Nikah bagaikan memperjual-belikan barang. Bisa ditawar dan digoyang, sesuai persetujuan dan “nafsu” dua belah pihak. Ada uang, ada barang merupakan hal lumrah, di sini, saya tidak memperdebatkan hal itu karena mereka, dengan alasan yang retoris, mengaku terhimpit kebutuhan sehari-hari yang melambung tinggi. Lebih dari itu, bagaimana sakralitas pernikahan dipahami. (*)
Labels
Gagas
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.