Ritual Tawur Kesangeh Diguyur Hujan
MESKI diguyur hujan, pelaksanaan Ritual Tawur Kesangeh dan doa tutup Tahun Saka 1931, kemarin tetap dilangsungkan di Pura Agung Giri Nata. Ritual sebagai penyeimbang alam semesta ini juga diselipi doa untuk kesuksesan pelaksanaan Pilwalkot Semarang yang akan berlangsung 18 April mendatang.
Ritual Tawur Kesangeh itu memang biasa dilangsungkan menjelang Perayaan Hari Raya Nyepi. Kegiatan kemarin itu, diikuti ratusan umat Hindu di Kota Semarang dan sekitarnya. Ritual yang dilakukan mulai pukul 17.00 itu dimaksudkan sebagai upaya untuk penyeimbangan diri terhadap alam semesta.
Ritual Tawur Kesangeh itu memang biasa dilangsungkan menjelang Perayaan Hari Raya Nyepi. Kegiatan kemarin itu, diikuti ratusan umat Hindu di Kota Semarang dan sekitarnya. Ritual yang dilakukan mulai pukul 17.00 itu dimaksudkan sebagai upaya untuk penyeimbangan diri terhadap alam semesta.
Namun ritual yang harusnya berlangsung mulai pukul 17.00 hingga 19.00 WIB ini sempat terkendala karena hujan deras menguyur Kota Semarang. Alhasil sejumlah ritual yang biasanya dilakukan seperti mengelilingi lingkungan pura hingga tiga kali dan membersihkan lingkungan terpaksa tidak dilangsungkan.
“Hujan ini kan berkah dari Tuhan, kita syukur saja. Kalau tidak bisa melaksanakannya di halaman Pura, kita bisa melaksanakannya di aula ini,” ujar Anak Agung Ketut Darmaja, Humas Perayaan Hari Raya Nyepi Kota Semarang di sela-sela acara.
Meski demikian Ritual Tawur Kesangeh yang diikuti dengan doa tutup tahun saka 1931 masih dilanjutkan. Hanya saja tempat berdoa bersama yang harusnya dilakukan di area Utama Mandala terpaksa dialihkan ke Aula Pura Agung Giri Nata.
Disampaikan Anak Agung Ketut Darmaja, Ritual Tawur Kesangeh ini menjadi momentum untuk menyeimbangan diri dengan alam semesta. “Biasanya ritual ini diwujudkan dengan melakukan pengorbanan ayam sebagai bentuk menghilangkan sifat
kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Yang membedakan, pada acara tahun ini umat Hindu di Kota Semarang juga mendoakan agar pelaksanaan Pilwalkot Semarang juga berjalan lancar dan aman,” tuturnya.
Sementara I Nyoman Romangsi, Ketua Panitia Peringatan Hari Nyepi Kota Semarang mengharapkan, Perayaan Hari Raya Nyepi jangan hanya bersifat ritual seremonial saja, karena yang paling penting adalah pengendalian diri dan alam sekitar.
“Dua hal tersebut harus dilakukan setiap saat sesuai dengan profesi masing-masing, supaya kondisi alam tetap seimbang, sehingga tidak lagi terjadi bencana dan umat manusia dapat hidup dengan normal,” ujarnya.
Seluruh umat Hindu melaksanakan Catur Brata Nyepi yang berisi larangan, yakni Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak melakukan pekerjaan), Amati Lelanguan (tidak menikmati keindahan), dan Amati Lelungan (tidak bepergian).
“Upacara Catur Brata Nyepi tersebut diakhiri dengan Ngembak Geni yaitu umat Hindu diperbolehkan kembali melakukan aktivitas sehari-hari,” katanya. Namun sebelum kembali beraktivitas, kata Romangsi, umat Hindu melakukan Upaksama (saling memaafkan) dan Dharma Santi (silaturahmi) dengan anggota keluarga dan saudara. (lissa-harian semarang)
“Hujan ini kan berkah dari Tuhan, kita syukur saja. Kalau tidak bisa melaksanakannya di halaman Pura, kita bisa melaksanakannya di aula ini,” ujar Anak Agung Ketut Darmaja, Humas Perayaan Hari Raya Nyepi Kota Semarang di sela-sela acara.
Meski demikian Ritual Tawur Kesangeh yang diikuti dengan doa tutup tahun saka 1931 masih dilanjutkan. Hanya saja tempat berdoa bersama yang harusnya dilakukan di area Utama Mandala terpaksa dialihkan ke Aula Pura Agung Giri Nata.
Disampaikan Anak Agung Ketut Darmaja, Ritual Tawur Kesangeh ini menjadi momentum untuk menyeimbangan diri dengan alam semesta. “Biasanya ritual ini diwujudkan dengan melakukan pengorbanan ayam sebagai bentuk menghilangkan sifat
kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Yang membedakan, pada acara tahun ini umat Hindu di Kota Semarang juga mendoakan agar pelaksanaan Pilwalkot Semarang juga berjalan lancar dan aman,” tuturnya.
Sementara I Nyoman Romangsi, Ketua Panitia Peringatan Hari Nyepi Kota Semarang mengharapkan, Perayaan Hari Raya Nyepi jangan hanya bersifat ritual seremonial saja, karena yang paling penting adalah pengendalian diri dan alam sekitar.
“Dua hal tersebut harus dilakukan setiap saat sesuai dengan profesi masing-masing, supaya kondisi alam tetap seimbang, sehingga tidak lagi terjadi bencana dan umat manusia dapat hidup dengan normal,” ujarnya.
Seluruh umat Hindu melaksanakan Catur Brata Nyepi yang berisi larangan, yakni Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak melakukan pekerjaan), Amati Lelanguan (tidak menikmati keindahan), dan Amati Lelungan (tidak bepergian).
“Upacara Catur Brata Nyepi tersebut diakhiri dengan Ngembak Geni yaitu umat Hindu diperbolehkan kembali melakukan aktivitas sehari-hari,” katanya. Namun sebelum kembali beraktivitas, kata Romangsi, umat Hindu melakukan Upaksama (saling memaafkan) dan Dharma Santi (silaturahmi) dengan anggota keluarga dan saudara. (lissa-harian semarang)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.