Bedug dan Kenthongan
SEMASA kecil, saya, juga anak-anak lain senang sekali bermain-main di langgar atau masjid. Jika masuk waktu sholat, kami berebut nuthuk kenthongan maupun bedug. Kadang ada yang menangis karena rebutan tersebut.
Meski demikian, begitu adzan selesai dikumandangkan muadzin, anak-anak langsung diam. Walau ketika imam sudah memimpin sholat kembali gojekan. Kejar-kejaran dan ramai di barisan belakang. Biasanya di serambi.
Pak Kiai atau pengurus masjid tidak pernah marah kepada kami. Paling-paling memberi kode jari telunjuk diletakkan di mulutnya. Maksudnya agar kami diam. Jika kami masih bandel, biasanya dipelototi. Tapi lebih sering dengan iming-iming mau didongengi cerita nabi atau wali.
Usai sholat jamaah, kami berlarian berebut mencium tangan sang imam. Menyalami kiai lalu duduk bersila untuk mengaji. Secara bergiliran, anak-anak perempuan maupun lakilaki disuruh membaca Alquran --sesuai jenjang kemampuannya-- di hadapan kiai. Dua deret meja kami tata di ruang tengah mushola.
Khusus untuk anak laki-laki, jika sudah sunat (khitan), tidurnya di langgar. Malu kalau sudah sunat masih tidur bersama orangtua di rumah. Jadi sejak kecil anak-anak sudah biasa bangun subuh dan berjamaah. Setengah mondok jadinya.
Tentu saja, semua jadwal ngaji di langgar kami ikuti. Ada dzibaan setiap malam Selasa. Yaitu membaca sholawat nabi dan kisah kerasulannya dengan nada sastra. Kadang sambil tetabuhan karena saking asyiknya. Jika malam Jumat membaca Surat Yasin dan menghapalkan surat-surat pendek di Juz ‘Amma ramai-ramai.
Sholat dan langgar begitu lekat dengan dunia anak-anak. Peci dan sarung tak pernah lepas dari badan. Seperti Si Unyil, gambarannya. Jika sedang bermain, kami selempangkan sarung di pundak. Begitu masuk langgar, kathok cekak dilepas, ganti memakai sarung meski kadang kedodoran.
Agama dan ajaran-ajarannya terasa mengasyikkan. Melekat dalam keseharian. Unsur tarbiyah (pendidikan) berjalan begitu indah. Keimanan dan akhlak anak-anak dibina langsung oleh masyarakat lewat mushola. Dengan bimbingan ulama.
Sungguh hebat para wali yang menyebarkan Islam. Mereka tahu bunyi-bunyian menarik minat orang. Bedug dan kenthongan yang jadi alat komunikasi panggilan, ditaruh di masjid. Apalagi Sunan Bonang menciptakan nada irama yang indah, membuat alunan bedug di masjid sangat menarik masyarakat. Kedatangan mereka itu dimanfaatkan untuk berdakwah. Setelah mendengar tuturan para wali, mereka kemudian masuk Islam. Lalu diajak berwudhu, membaca
syahadat, dan langsung diajari sholat di masjid.
Sunan Kalijaga bahkan sangat progresif. Dia menggelar pertunjukan wayang yang penontonnya diharuskan membayar ”tiket masuk” berupa mengucap kalimat syahadat. Batasnya adalah pagar yang disebut gapura. Berasal dari kata ghofuro yang berarti pengampunan. Maksudnya mereka telah mendapatkan pengampunan karena telah masuk Islam. Lakonnya pun bukan lagi perang Baratayudha versi India. Diganti Pandawa Lima hanya bisa menang jika memiliki Jimat Kalimasada alias kalimat syahadat.
Jadi, semua media dipakai para wali, bedug seperti radio (media audio), wayang seperti film (audio visual). Hasilnya, hampir seluruh penduduk Nusantara beragama Islam. Iman merasuk dalam hati mereka dengan begitu lembutnya. Tanpa terasa, tanpa terpaksa.
Sampai sekarang pun, jika ada drumband atau barongsai lewat di jalan raya, anak-anak dan orang dewasa berhamburan melihatnya. Juga, setiap ada film atau pertunjukan, selalu saja mendapat perhatian. Sifat dasar manusia memang senang musik dan gambar.
Entah mengapa, di zaman modern, tibatiba kenthongan dan bedug ditiadakan. Banyak masjid tak memakai lagi alat panggil itu. Ada yang mengganti dengan sirine untuk memberitahu waktu maghrib dan imsak telah tiba. Tapi, sirine tentu tidak membuat orang tertarik datang. Sedang sifat dasar sirine justru menyingkirkan. Agar semua orang, terutama pengendara kendaraan minggir dan menyingkir.
Jadi, jangan salahkan anak-anak sekarang jika malas ke masjid. Jangan salahkan jika tontonan di TV tidak islami. Wong orangorang yang mengaku tokoh dakwah itu tidak ada membuat tontonan islami buat mereka, sebagaimana Sunan Kalijaga dengan lakon wayang syahadatnya. Selamat berbuka puasa! (ichwan)
Meski demikian, begitu adzan selesai dikumandangkan muadzin, anak-anak langsung diam. Walau ketika imam sudah memimpin sholat kembali gojekan. Kejar-kejaran dan ramai di barisan belakang. Biasanya di serambi.
Pak Kiai atau pengurus masjid tidak pernah marah kepada kami. Paling-paling memberi kode jari telunjuk diletakkan di mulutnya. Maksudnya agar kami diam. Jika kami masih bandel, biasanya dipelototi. Tapi lebih sering dengan iming-iming mau didongengi cerita nabi atau wali.
Usai sholat jamaah, kami berlarian berebut mencium tangan sang imam. Menyalami kiai lalu duduk bersila untuk mengaji. Secara bergiliran, anak-anak perempuan maupun lakilaki disuruh membaca Alquran --sesuai jenjang kemampuannya-- di hadapan kiai. Dua deret meja kami tata di ruang tengah mushola.
Khusus untuk anak laki-laki, jika sudah sunat (khitan), tidurnya di langgar. Malu kalau sudah sunat masih tidur bersama orangtua di rumah. Jadi sejak kecil anak-anak sudah biasa bangun subuh dan berjamaah. Setengah mondok jadinya.
Tentu saja, semua jadwal ngaji di langgar kami ikuti. Ada dzibaan setiap malam Selasa. Yaitu membaca sholawat nabi dan kisah kerasulannya dengan nada sastra. Kadang sambil tetabuhan karena saking asyiknya. Jika malam Jumat membaca Surat Yasin dan menghapalkan surat-surat pendek di Juz ‘Amma ramai-ramai.
Sholat dan langgar begitu lekat dengan dunia anak-anak. Peci dan sarung tak pernah lepas dari badan. Seperti Si Unyil, gambarannya. Jika sedang bermain, kami selempangkan sarung di pundak. Begitu masuk langgar, kathok cekak dilepas, ganti memakai sarung meski kadang kedodoran.
Agama dan ajaran-ajarannya terasa mengasyikkan. Melekat dalam keseharian. Unsur tarbiyah (pendidikan) berjalan begitu indah. Keimanan dan akhlak anak-anak dibina langsung oleh masyarakat lewat mushola. Dengan bimbingan ulama.
Sungguh hebat para wali yang menyebarkan Islam. Mereka tahu bunyi-bunyian menarik minat orang. Bedug dan kenthongan yang jadi alat komunikasi panggilan, ditaruh di masjid. Apalagi Sunan Bonang menciptakan nada irama yang indah, membuat alunan bedug di masjid sangat menarik masyarakat. Kedatangan mereka itu dimanfaatkan untuk berdakwah. Setelah mendengar tuturan para wali, mereka kemudian masuk Islam. Lalu diajak berwudhu, membaca
syahadat, dan langsung diajari sholat di masjid.
Sunan Kalijaga bahkan sangat progresif. Dia menggelar pertunjukan wayang yang penontonnya diharuskan membayar ”tiket masuk” berupa mengucap kalimat syahadat. Batasnya adalah pagar yang disebut gapura. Berasal dari kata ghofuro yang berarti pengampunan. Maksudnya mereka telah mendapatkan pengampunan karena telah masuk Islam. Lakonnya pun bukan lagi perang Baratayudha versi India. Diganti Pandawa Lima hanya bisa menang jika memiliki Jimat Kalimasada alias kalimat syahadat.
Jadi, semua media dipakai para wali, bedug seperti radio (media audio), wayang seperti film (audio visual). Hasilnya, hampir seluruh penduduk Nusantara beragama Islam. Iman merasuk dalam hati mereka dengan begitu lembutnya. Tanpa terasa, tanpa terpaksa.
Sampai sekarang pun, jika ada drumband atau barongsai lewat di jalan raya, anak-anak dan orang dewasa berhamburan melihatnya. Juga, setiap ada film atau pertunjukan, selalu saja mendapat perhatian. Sifat dasar manusia memang senang musik dan gambar.
Entah mengapa, di zaman modern, tibatiba kenthongan dan bedug ditiadakan. Banyak masjid tak memakai lagi alat panggil itu. Ada yang mengganti dengan sirine untuk memberitahu waktu maghrib dan imsak telah tiba. Tapi, sirine tentu tidak membuat orang tertarik datang. Sedang sifat dasar sirine justru menyingkirkan. Agar semua orang, terutama pengendara kendaraan minggir dan menyingkir.
Jadi, jangan salahkan anak-anak sekarang jika malas ke masjid. Jangan salahkan jika tontonan di TV tidak islami. Wong orangorang yang mengaku tokoh dakwah itu tidak ada membuat tontonan islami buat mereka, sebagaimana Sunan Kalijaga dengan lakon wayang syahadatnya. Selamat berbuka puasa! (ichwan)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.