Thongthong Klek
Catatan Moh Ichwan
Wartawan Harsem
Thongthong klek, tak tung tak blung... sahur-sahur...
Kang, Mak, Buk, Lek, Dhe, Mbak... bangun yo, bangun...
Sahur sahur...
Thongthong klek, thongthong klek..
ORKESTRA dinihari ini dimainkan anak-anak maupun bapakbapak hanya di bulan Ramadan. Aneka alat digunakan. Umumnya kenthongan bambu. Namun biasanya dibawa pula alat-alat dapur atau benda bekas. Panci, wajan, kendil, atau galon plastik, juga ember sering ikut dalam konser musik khas bulan puasa ini.
Dengan celana pendek dan sarung menyelempang di pundak, bahkan dengan mata sembab tak sempat raup, anak-anak berkelompok menyusuri jalan dan gang maupun lorong. Biasanya, beberapa hari menjelang datang bulan puasa, anak-anak sudah persiapan membuat kenthongan aneka bentuk.
Niatnya sih mulia, membangunkan warga agar segera masak atau makan sahur. Pahala orang yang membangunkan sahur –kata Pak Ustad— sama besar dengan pahala orang yang memberi makan orang puasa.
Warga kampung juga senang. Meski ada jam weker atau radio, tetap saja lebih mantap jika mendengar bunyi thongthong klek. Meski suara musiknya sember seperti gembreng (seng) diseret, yang penting membuat ibu-ibu terjaga. Lalu menghidupkan kompor di dapur. Bapak-bapak juga segera mengisi bak mandi dan mengajak anak-anak berwudhu, lalu makan bareng sekeluarga.
Orang bisa saja mancal jam weker karena merasa terganggu. Saat dibuai mimpi, bisa saja suara radio dicuekin. Tapi kalau ributnya tetabuhan anak-anak kampung, tak bisa ditolak. Bahkan meski jengkel, tetap saja merasa berterimakasih. Sebab jika tidak sahur karena telat bangun, bahkan tertinggal Subuh, betapa menyesalnya. Seisi rumah akan sangat merasa berdosa, bahkan saling menyalahkan.
Kita yang sempat mengalami masa kanak-kanak, terutama di desa, biasanya tak ketinggalan dalam orkes malam tersebut. Orangtua biasanya mengizinkan kita ikut, karena ibu tak perlu susah membangunkan sahur. Berkumpul dengan banyak teman, menyanyikan sholawat Nabi atau hanya bengak-bengok, sungguh mengasyikkan.
Dengan semangat kita berlatih dan bangun lebih dini agar bisa ikut kelompok thongthong klek atau sering pula disebut klothekan. Bahkan begadang semalaman, lalu ”balas dendam” tidur seharian setelah sholat Subuh.
Apalagi di daerah asal saya, Rembang, musik sahur ini dilombakan. Festivalnya diadakan di kabupaten. Hadiahnya piala bupati. Dan ajang tahunan ini jadi jadi daya tarik pariwisata. Wow. Betapa giatnya pemuda desa berlatih dan membuat grup sebagus mungkin agar dapat juara.
Meski sekarang ada yang agak melenceng, seperti penggunaan drum dan sound system, tradisi ini juga dimanfaatkan bupati untuk bersilaturahmi dengan warga. Bahkan di Sampang, Madura, bupatinya ikut klothekan menggunakan alat tradisional kesek. Dia juga mengetuk pintu rumah warga, lantas bersalam-salaman. Istilah Maduranya, Musik Patrol. Mungkin karena klothekan berfungsi sebagai patroli.
Di Semarang, agaknya tidak setiap kampung punya tradisi membangunkan sahur dengan thongthong klek. Hanya beberapa kawasan yang telah memiliki kampung berbudaya klothekan sejak lama. Di pinggiran kota memang masih banyak yang melakukan, tapi di kawasan tengah, terlebih di perumahan moderen, hampir bisa dikatakan tidak ada.
Kalaupun ada bunyi thengtheng dinihari, itu dilakukan oleh satpam atau hansip (sekarang Linmas) yang sukarela atau diminta nuthuk tiang listrik pada jam sahur.
Masih mending jika di masjid atau mushola ada orang yang membaca tarhim (zikir dan doa dengan nada syi’iran) lewat pelantang suara. Atau sekadar nyetel kaset qiro’ah maupun sholawatan. Jika tidak ada semua itu, bisa dipastikan warga muslim bangun oleh niatnya sendiri. Entah dengan alat bantu alaram handphone atau hidupnya televisi yang disetel on pada jam tertentu.
Bagi yang lekat dengan budaya, puasa tanpa thongthong klek rasanya kurang meriah. Terkesan sepi dan mekanis. Tapi bagi yang tidak kenal tradisi, mungkin menganggap aneh atau bahkan mencibir. Dikiranya itu pekerjaan sia-sia dan mengganggu nyenyaknya tidur.
Sebenarnya, yang perlu didandani adalah perilaku grup klothekan yang mungkin kurang patut. Semisal terlalu dini memainkan orkestra, terlalu keras menabuh atau yang menyalahgunakan momen untuk meminta sumbangan dan sebagainya. Tak perlu dibenci apalagi disingkirkan. Tugas umaro dan ulama-lah membimbing dan membina mereka. Wassalam. Selamat bangun sahur. Selamat menikmati orkestra klothekan.***
Wartawan Harsem
Thongthong klek, tak tung tak blung... sahur-sahur...
Kang, Mak, Buk, Lek, Dhe, Mbak... bangun yo, bangun...
Sahur sahur...
Thongthong klek, thongthong klek..
ORKESTRA dinihari ini dimainkan anak-anak maupun bapakbapak hanya di bulan Ramadan. Aneka alat digunakan. Umumnya kenthongan bambu. Namun biasanya dibawa pula alat-alat dapur atau benda bekas. Panci, wajan, kendil, atau galon plastik, juga ember sering ikut dalam konser musik khas bulan puasa ini.
Dengan celana pendek dan sarung menyelempang di pundak, bahkan dengan mata sembab tak sempat raup, anak-anak berkelompok menyusuri jalan dan gang maupun lorong. Biasanya, beberapa hari menjelang datang bulan puasa, anak-anak sudah persiapan membuat kenthongan aneka bentuk.
Niatnya sih mulia, membangunkan warga agar segera masak atau makan sahur. Pahala orang yang membangunkan sahur –kata Pak Ustad— sama besar dengan pahala orang yang memberi makan orang puasa.
Warga kampung juga senang. Meski ada jam weker atau radio, tetap saja lebih mantap jika mendengar bunyi thongthong klek. Meski suara musiknya sember seperti gembreng (seng) diseret, yang penting membuat ibu-ibu terjaga. Lalu menghidupkan kompor di dapur. Bapak-bapak juga segera mengisi bak mandi dan mengajak anak-anak berwudhu, lalu makan bareng sekeluarga.
Orang bisa saja mancal jam weker karena merasa terganggu. Saat dibuai mimpi, bisa saja suara radio dicuekin. Tapi kalau ributnya tetabuhan anak-anak kampung, tak bisa ditolak. Bahkan meski jengkel, tetap saja merasa berterimakasih. Sebab jika tidak sahur karena telat bangun, bahkan tertinggal Subuh, betapa menyesalnya. Seisi rumah akan sangat merasa berdosa, bahkan saling menyalahkan.
Kita yang sempat mengalami masa kanak-kanak, terutama di desa, biasanya tak ketinggalan dalam orkes malam tersebut. Orangtua biasanya mengizinkan kita ikut, karena ibu tak perlu susah membangunkan sahur. Berkumpul dengan banyak teman, menyanyikan sholawat Nabi atau hanya bengak-bengok, sungguh mengasyikkan.
Dengan semangat kita berlatih dan bangun lebih dini agar bisa ikut kelompok thongthong klek atau sering pula disebut klothekan. Bahkan begadang semalaman, lalu ”balas dendam” tidur seharian setelah sholat Subuh.
Apalagi di daerah asal saya, Rembang, musik sahur ini dilombakan. Festivalnya diadakan di kabupaten. Hadiahnya piala bupati. Dan ajang tahunan ini jadi jadi daya tarik pariwisata. Wow. Betapa giatnya pemuda desa berlatih dan membuat grup sebagus mungkin agar dapat juara.
Meski sekarang ada yang agak melenceng, seperti penggunaan drum dan sound system, tradisi ini juga dimanfaatkan bupati untuk bersilaturahmi dengan warga. Bahkan di Sampang, Madura, bupatinya ikut klothekan menggunakan alat tradisional kesek. Dia juga mengetuk pintu rumah warga, lantas bersalam-salaman. Istilah Maduranya, Musik Patrol. Mungkin karena klothekan berfungsi sebagai patroli.
Di Semarang, agaknya tidak setiap kampung punya tradisi membangunkan sahur dengan thongthong klek. Hanya beberapa kawasan yang telah memiliki kampung berbudaya klothekan sejak lama. Di pinggiran kota memang masih banyak yang melakukan, tapi di kawasan tengah, terlebih di perumahan moderen, hampir bisa dikatakan tidak ada.
Kalaupun ada bunyi thengtheng dinihari, itu dilakukan oleh satpam atau hansip (sekarang Linmas) yang sukarela atau diminta nuthuk tiang listrik pada jam sahur.
Masih mending jika di masjid atau mushola ada orang yang membaca tarhim (zikir dan doa dengan nada syi’iran) lewat pelantang suara. Atau sekadar nyetel kaset qiro’ah maupun sholawatan. Jika tidak ada semua itu, bisa dipastikan warga muslim bangun oleh niatnya sendiri. Entah dengan alat bantu alaram handphone atau hidupnya televisi yang disetel on pada jam tertentu.
Bagi yang lekat dengan budaya, puasa tanpa thongthong klek rasanya kurang meriah. Terkesan sepi dan mekanis. Tapi bagi yang tidak kenal tradisi, mungkin menganggap aneh atau bahkan mencibir. Dikiranya itu pekerjaan sia-sia dan mengganggu nyenyaknya tidur.
Sebenarnya, yang perlu didandani adalah perilaku grup klothekan yang mungkin kurang patut. Semisal terlalu dini memainkan orkestra, terlalu keras menabuh atau yang menyalahgunakan momen untuk meminta sumbangan dan sebagainya. Tak perlu dibenci apalagi disingkirkan. Tugas umaro dan ulama-lah membimbing dan membina mereka. Wassalam. Selamat bangun sahur. Selamat menikmati orkestra klothekan.***
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.