Mudik
Catatan Dwi NR
Wartawan Harsem
BULAN Ramadan hampir berujung. Nuansa perayaan Idul Fitri begitu terasa mendekati bulan Syawal ini. Secara harfiah, Idul Fitri bermakna hari suci. Sering pula diartikan sebagai hari kembali sucinya jiwa-jiwa umat Muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah sebulan penuh sepanjang Ramadan. Di Indonesia, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri.
Hari Raya Idul Fitri yang sering diistilahkan dengan “Lebaran” ini tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tapi telah menjadi kultur bangsa yang unik. Dua istilah yang sering kita dengar, baik secara verbal, tertulis di kartu lebaran, maupun gejala beberapa tahun belakangan melalui pesan pendek (sms) di telpon seluler kita adalah “minal aidin wal faizin” dan “halal bihalal”.
Dua frasa bahasa Arab itu, konon tak ditemukan dalam kultur Arab sendiri. Istilah yang lebih sering digunakan dalam budaya Arab adalah ungkapan “kullu aam wa wantum bi khair” (semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik), atau “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amal kami dan Anda) [Qaris Tajudin; 2006].
Satu hal lagi, Lebaran (Idul Fitri) di negeri ini, pun selalu identik dengan mudi. Pulang ke kampung halaman. Momen ini sudah menjadi hal rutin setiap tahun. Mudik Lebaran benar-benar telah membudaya. Mudik telah menjadi ajang melepas rindu kepada keluarga dan kampung halaman. Sebuah nilai-nilai primordialisme yang bersifat positif.
Namun sesungguhnya, karena tradisi mudik itu sudah selalu identik dengan Idul Fitri, maka maknanya tidak hanya sekadar pelepasan rindu kampung halaman (biologis), melainkan (semestinya) lebih bermakna spiritual. Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla pernah mengatakan, peristiwa Hari Raya Idul Fitri yang lazim disebut Lebaran memiliki tiga makna penting, yakni agama, sosial, dan ekonomi. Menurutnya, Lebaran itu masalah sosial yang tertinggi. “Mobilisasi masyarakat terbesar hanya terjadi pada Lebaran. Selama ini mudik di Pulau Jawa saja setidaknya memobilisasi 30 juta orang,“ katanya.
Selain itu, Lebaran merupakan peristiwa ekonomi yang tertinggi setiap tahun, karena peristiwa mudik itu dapat memberikan pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia. Idul Fitri, dalam makna agama (spiritual) berarti kembali ke fitrah. Secara etimologis, Idul Fitri berarti “kembali berbuka.” Kemudian secara substansial dimaknai “kembali ke fitrah.”
Sebuah momentum pulang ke kampung rohani, yang bermakna kembali ke hati nurani, menemukan Allah di dalam diri sendiri. Artinya, rumah rohani kita sebetulnya ada di dalam diri. Dalam pemaknaan ini, sesungguhnya yang harus mudik itu bukan dalam arti biologis, melainkan mudik spiritual. Mudik rohani.
Suatu momen pengungkapan kemenangan dan kegembiraan setelah kurang lebih satu bulan umat Islam berpuasa. Suatu kesempatan untuk menegaskan komitmen keilahian bagi kemanusiaan universal. Momentum melakukan suatu konsentrasi atau kontemplasi kembali ke jatidiri sendiri, merefleksi, dan introspeksi lembaran pengalaman masa lampau, sehingga memunculkan kearifan-kearifan di dalam diri.
Bukan berarti bahwa mudik secara fisik (biologis), dalam makna sosial, ekonomi, dan budaya menjadi tidak penting. Semua itu perlu, apalagi bila kita melakonimya secara baik dan proporsional. Yang terpenting, mudik Lebaran yang setiap tahun menjadi peristiwa (mobilisasi) rutin luar biasa, sampai merepotkan banyak pihak, terutama dalam hal masalah angkutan, seharusnya memberi nilai tambah pada urgensi mudik spiritual atau mudik rohani. Sehingga ongkos besar yang harus kita bayar dalam prosesi mudik biologis itu tidak sia-sia.
Terbayang, untuk menjaga dan mengamankan perjalanan mudik Lebaran saja pihak kepolisian menghabiskan sekitar Rp 45 miliar. Belum lagi akumulasi pendapatan atau gaji yang diperoleh setiap orang selama satu tahun bekerja di kota harus habis dalam satu minggu untuk mudik biologis ke kampung halaman.
Jadi jangan sampai mudik yang mengiringi Idul Fitri menjadi semacam suatu pesta ritual tahunan yang sangat konsumtif. Dalam hal ini, secara sadar dan maksimal, harus terpikirkan dan terejawantahkan bagaimana kita bisa menciptakan nilai plus mudik Lebaran itu, terutama dalam makna spiritual. Juga dalam makna sosial, budaya, dan ekonomi.
Secara sosial, mudik bermakna pemenuhan kepentingan berkumpul secara primordial, emosional, dan paguyuban, untuk mempererat hubungan silaturahim. Secara ekonomi, bisa juga
bermakna sebagai pemerataan atau pemulangan uang yang menumpuk di kota ke daerah-daerah. Suatu kesempatan orang desa untuk menerima uang dari kota.
Hanya saja, hal itu jangan dilakukan secara berlebihan, hingga mengarah pada pamer kekayaan, kesombongan diri, sehingga lebih banyak aspek-aspek mubazirnya ketimbang keuntungannya. Kita mestinya mampu memaknai Idul Fitri sebagai hasil proses panjang berpuasa selama satu bulan yang tidak hanya sekadar menahan makan, minum, dan sebagainya. Tapi lebih substansial lagi adalah meminimalkan nafsu dan menghasilkan insan yang fitri.
Hal inilah yang harus kita maknai dengan baik sebagai amanah dalam kehidupan keseharian pada hari-hari mendatang. Terutama dalam mengemban amanah, sesuai posisi dan kapasitas kita masing-masing, untuk diabdikan dalam konteks Indonesia.
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Tentu dengan segenap ketulusan, keikhlasan, dan kebeningan hati. Nurani yang fitri.***
BULAN Ramadan hampir berujung. Nuansa perayaan Idul Fitri begitu terasa mendekati bulan Syawal ini. Secara harfiah, Idul Fitri bermakna hari suci. Sering pula diartikan sebagai hari kembali sucinya jiwa-jiwa umat Muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah sebulan penuh sepanjang Ramadan. Di Indonesia, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri.
Hari Raya Idul Fitri yang sering diistilahkan dengan “Lebaran” ini tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tapi telah menjadi kultur bangsa yang unik. Dua istilah yang sering kita dengar, baik secara verbal, tertulis di kartu lebaran, maupun gejala beberapa tahun belakangan melalui pesan pendek (sms) di telpon seluler kita adalah “minal aidin wal faizin” dan “halal bihalal”.
Dua frasa bahasa Arab itu, konon tak ditemukan dalam kultur Arab sendiri. Istilah yang lebih sering digunakan dalam budaya Arab adalah ungkapan “kullu aam wa wantum bi khair” (semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik), atau “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amal kami dan Anda) [Qaris Tajudin; 2006].
Satu hal lagi, Lebaran (Idul Fitri) di negeri ini, pun selalu identik dengan mudi. Pulang ke kampung halaman. Momen ini sudah menjadi hal rutin setiap tahun. Mudik Lebaran benar-benar telah membudaya. Mudik telah menjadi ajang melepas rindu kepada keluarga dan kampung halaman. Sebuah nilai-nilai primordialisme yang bersifat positif.
Namun sesungguhnya, karena tradisi mudik itu sudah selalu identik dengan Idul Fitri, maka maknanya tidak hanya sekadar pelepasan rindu kampung halaman (biologis), melainkan (semestinya) lebih bermakna spiritual. Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla pernah mengatakan, peristiwa Hari Raya Idul Fitri yang lazim disebut Lebaran memiliki tiga makna penting, yakni agama, sosial, dan ekonomi. Menurutnya, Lebaran itu masalah sosial yang tertinggi. “Mobilisasi masyarakat terbesar hanya terjadi pada Lebaran. Selama ini mudik di Pulau Jawa saja setidaknya memobilisasi 30 juta orang,“ katanya.
Selain itu, Lebaran merupakan peristiwa ekonomi yang tertinggi setiap tahun, karena peristiwa mudik itu dapat memberikan pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia. Idul Fitri, dalam makna agama (spiritual) berarti kembali ke fitrah. Secara etimologis, Idul Fitri berarti “kembali berbuka.” Kemudian secara substansial dimaknai “kembali ke fitrah.”
Sebuah momentum pulang ke kampung rohani, yang bermakna kembali ke hati nurani, menemukan Allah di dalam diri sendiri. Artinya, rumah rohani kita sebetulnya ada di dalam diri. Dalam pemaknaan ini, sesungguhnya yang harus mudik itu bukan dalam arti biologis, melainkan mudik spiritual. Mudik rohani.
Suatu momen pengungkapan kemenangan dan kegembiraan setelah kurang lebih satu bulan umat Islam berpuasa. Suatu kesempatan untuk menegaskan komitmen keilahian bagi kemanusiaan universal. Momentum melakukan suatu konsentrasi atau kontemplasi kembali ke jatidiri sendiri, merefleksi, dan introspeksi lembaran pengalaman masa lampau, sehingga memunculkan kearifan-kearifan di dalam diri.
Bukan berarti bahwa mudik secara fisik (biologis), dalam makna sosial, ekonomi, dan budaya menjadi tidak penting. Semua itu perlu, apalagi bila kita melakonimya secara baik dan proporsional. Yang terpenting, mudik Lebaran yang setiap tahun menjadi peristiwa (mobilisasi) rutin luar biasa, sampai merepotkan banyak pihak, terutama dalam hal masalah angkutan, seharusnya memberi nilai tambah pada urgensi mudik spiritual atau mudik rohani. Sehingga ongkos besar yang harus kita bayar dalam prosesi mudik biologis itu tidak sia-sia.
Terbayang, untuk menjaga dan mengamankan perjalanan mudik Lebaran saja pihak kepolisian menghabiskan sekitar Rp 45 miliar. Belum lagi akumulasi pendapatan atau gaji yang diperoleh setiap orang selama satu tahun bekerja di kota harus habis dalam satu minggu untuk mudik biologis ke kampung halaman.
Jadi jangan sampai mudik yang mengiringi Idul Fitri menjadi semacam suatu pesta ritual tahunan yang sangat konsumtif. Dalam hal ini, secara sadar dan maksimal, harus terpikirkan dan terejawantahkan bagaimana kita bisa menciptakan nilai plus mudik Lebaran itu, terutama dalam makna spiritual. Juga dalam makna sosial, budaya, dan ekonomi.
Secara sosial, mudik bermakna pemenuhan kepentingan berkumpul secara primordial, emosional, dan paguyuban, untuk mempererat hubungan silaturahim. Secara ekonomi, bisa juga
bermakna sebagai pemerataan atau pemulangan uang yang menumpuk di kota ke daerah-daerah. Suatu kesempatan orang desa untuk menerima uang dari kota.
Hanya saja, hal itu jangan dilakukan secara berlebihan, hingga mengarah pada pamer kekayaan, kesombongan diri, sehingga lebih banyak aspek-aspek mubazirnya ketimbang keuntungannya. Kita mestinya mampu memaknai Idul Fitri sebagai hasil proses panjang berpuasa selama satu bulan yang tidak hanya sekadar menahan makan, minum, dan sebagainya. Tapi lebih substansial lagi adalah meminimalkan nafsu dan menghasilkan insan yang fitri.
Hal inilah yang harus kita maknai dengan baik sebagai amanah dalam kehidupan keseharian pada hari-hari mendatang. Terutama dalam mengemban amanah, sesuai posisi dan kapasitas kita masing-masing, untuk diabdikan dalam konteks Indonesia.
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Tentu dengan segenap ketulusan, keikhlasan, dan kebeningan hati. Nurani yang fitri.***
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.