UU Penyiaran Perlu Uji ke MK
Desakan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK) kian menguat. Bukan sebatas monopoli lembaga penyiaran, isi siaran juga dinilai meresahkan.
KOALISI Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) mengajukan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 ayat 1, Pasal 34 ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Pasal 28D, 28F, dan 33 ayat 3 UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi. KIDP diwakili oleh lima anggotanya yakni dari AJI Jakarta, Media Link, Yayasan 28, Pemantau Regulasi Regulator Media (PR2Media), dan LBH Pers.
KOALISI Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) mengajukan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 ayat 1, Pasal 34 ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Pasal 28D, 28F, dan 33 ayat 3 UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi. KIDP diwakili oleh lima anggotanya yakni dari AJI Jakarta, Media Link, Yayasan 28, Pemantau Regulasi Regulator Media (PR2Media), dan LBH Pers.
Upaya hukum KIDP ditempuh menyusul penafsiran sepihak oleh badan hukum/perseorangan terhadap Pasal 18 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran demi kepentingan dan keuntungan sekelompok pemodal atau orang tertentu saja. Akibat penafsiran sepihak dua pasal tersebut, telah muncul masalah pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran televisi dan radio di tangan segelintir pengusaha dan praktik jual beli izin prinsipal penyiaran, termasuk frekuensi penyiaran dengan dalih perpindahan atau penjualan saham usaha penyiaran.
“Saat ini terjadi praktik jual beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran, termasuk penguasaan opini publik, aset-aset ekonomi penyiaran yang berpotensi membatasi, mengurangi hak warga negara dalam menyatakan pendapat, memperoleh informasi, dan berekspresi yang bertentangan dengan tujuan konstitusi,” ujar Koordinator KIDP Eko Maryadi di Gedung MK, Jakarta, kemarin.
Inkonstitusional
KIDP berharap, MK menyatakan tafsir sepihak pelaksanaan Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah inkonstitusional. “Apabila terdapat UU yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi, maka MK dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan UU tersebut secara menyeluruh atau per pasalnya,” kata Eko
.
Mereka menggugat bunyi Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran konstitusional sepanjang ditafsirkan “Satu badan hukum apapun di tingkat manapun atau perseorangan, tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggaraan jasa penyiaran televisi yang berkoalisi di satu provinsi.”
Mereka menggugat bunyi Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran konstitusional sepanjang ditafsirkan “Satu badan hukum apapun di tingkat manapun atau perseorangan, tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggaraan jasa penyiaran televisi yang berkoalisi di satu provinsi.”
Kemudian menggugat pula Pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran konstitusional sepanjang ditafsirkan “Bahwa segala bentuk pemindahtanganan IPP dan penguasaan/kepemilikan lembaga penyiaran dengan cara dijual, dialihkan kepada bahan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun bertentangan dengan UU Penyiaran.”
KIDP juga meminta MK memperingatkan seluruh lembaga penyiaran di Indonesia agar menaati peraturan yang berlaku, tidak membuat tafsir UU yang melanggar hukum, dan menjauhi bisnis penyiaran yang merugikan kepentingan negara dan masyarakat.
2.540 Laporan
Sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima ribuan pengaduan tayangan televisi selama periode Januari hingga September 2011.
Anggota KPI, Muhammad Riyanto merinci total pengaduan masyarakat mengenai isi siaran 2.540 kasus, perizinan 112 kasus, dan kelembagaan 22 kasus.
Ada pun program televisi yang paling banyak mendapat pengaduan masyarakat dan telah ditegur KPI adalah sinetron “PyD” sebanyak 156 laporan.
“Masyarakat melaporkan sinetron ini karena menampilkan kekerasan fisik dan tidak mendidik,” ujar Riyanto dalam diskusi Mengupas Carut Marut Industri Penyiaran di Indonesia di Ciawi, Bogor, Minggu (23/10).
Selanjutnya, kata Riyanto, reality show berjudul “PT” dilaporkan sebanyak 86 laporan, karena dinilai tidak mendidik dan tidak bermutu. Sementara itu, sinetron seri “IK” dilaporkan masyarakat sebanyak 68 kali, karena dinilai tidak mendidik.
KPI juga menerima 56 laporan atas tayangan komedi “OvJ”, karena dinilai tidak mendidik, pelecehan, dan kekerasan. Program musik “D” dilaporkan 53 kali, karena ditayangkan di pagi hari saat jam masuk sekolah. “Akibatnya banyak siswa membolos untuk melihat tayangan ini,” ungkap Riyanto.
Meski tidak mau mengungkap program apa yang paling banyak diberi teguran tertulis, Riyanto menyatakan, KPI telah memberikan teguran tertulis sebanyak 25 kali dalam periode Januari-Juli 2011. Teguran tertulis kedua sebanyak lima kali, dan pemberian sanksi sebanyak dua kali.
Selain itu, institusinya sudah memberi peringatan tertulis sebanyak 12 kali, dan sanksi administrasi penghentian tayangan sementara, sekali.
“Sebenarnya kami sepakat, kalau sudah nggak benar, ya sudah nggak benar. Terutama dalam pelanggaran isi siaran, tapi kenyataannya tidak demikian,” tuturnya.
Dalam UU itu, menurut dia, KPI diberikan hak hanya sampai menegur dan memberikan surat. “Kalau pencabutan izin itu harus ke Kominfo, kalau pidana harus ke kepolisian. Itulah yang menyebabkan acara televisi yang dikeluhkan masyarakat terus diputar di televisi,” jelasnya. (dnr)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.