Ibuku Buta, Aku Sangat Malu
Saat remaja aku mulai sadar bahwa wajahku sangat tampan dan punya mata indah. Sebaliknya, aku malu punya ibu yang matanya cuma satu.
Ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil oleh Tuhan. Tinggalah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi pengganti ayah. Tapi aku hanya mementingkan kebutuhanku saja. Ibulah yang bekerja memasak makanan untuk para karyawan di sebuah kantor.
Suatu saat ibu datang ke sekolah, karena sudah beberapa hari aku tak pulang. Rumah kumuh itu membuatku muak. Kulihat sosok tua itu di pintu sekolah. “Mau ngapai ke sini? Ibu datang hanya untuk mempermalukanku saja!” Bentakku yang membuatnya bergegas pergi.
Beberapa bulan kemudian aku lulus dan mendapat beasiswa di sekolah luar negeri. Dengan bangga kubusungkan dada. Dan aku pun pergi tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu.
Di selolah itu, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena pintar dan tampan. Aku sukses, kemudian menikah dengan gadis Indonesia dan menetap di Singapura. Di Singapura, rumahku cukup mewah. Aku punya anak laki-laki berusia tiga tahun. Sepuluh tahun aku menetap di Singapura, dan sama sekali tak pernah memikirkan nasib ibu. Sedikit pun aku tak rindu padanya.
Suatu hari, datanglah undangan reuni dari SMA ku. Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiran. Kehadiranku semata untuk menyombongkan diri karena sudah sukses.
Selesai reuni, aku ingin melihat keadaan rumahku sebelum pulang ke Singapura. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah, bahkan aku jijik melihatnya. Tanpa rasa berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu. Rumah yang sangat berantakan. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalamnya.
Di luar aku bertemu seorang tetangga. “Akhirnya kau datang juga. Ibumu telah meninggal seminggu yang lalu,” ucapnya. Namun sedikit pun tak ada rasa sedih kurasakan. “Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu.”
Kubuka surat yang sudah kucal itu.
Ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil oleh Tuhan. Tinggalah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi pengganti ayah. Tapi aku hanya mementingkan kebutuhanku saja. Ibulah yang bekerja memasak makanan untuk para karyawan di sebuah kantor.
Suatu saat ibu datang ke sekolah, karena sudah beberapa hari aku tak pulang. Rumah kumuh itu membuatku muak. Kulihat sosok tua itu di pintu sekolah. “Mau ngapai ke sini? Ibu datang hanya untuk mempermalukanku saja!” Bentakku yang membuatnya bergegas pergi.
Beberapa bulan kemudian aku lulus dan mendapat beasiswa di sekolah luar negeri. Dengan bangga kubusungkan dada. Dan aku pun pergi tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu.
Di selolah itu, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena pintar dan tampan. Aku sukses, kemudian menikah dengan gadis Indonesia dan menetap di Singapura. Di Singapura, rumahku cukup mewah. Aku punya anak laki-laki berusia tiga tahun. Sepuluh tahun aku menetap di Singapura, dan sama sekali tak pernah memikirkan nasib ibu. Sedikit pun aku tak rindu padanya.
Suatu hari, datanglah undangan reuni dari SMA ku. Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiran. Kehadiranku semata untuk menyombongkan diri karena sudah sukses.
Selesai reuni, aku ingin melihat keadaan rumahku sebelum pulang ke Singapura. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah, bahkan aku jijik melihatnya. Tanpa rasa berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu. Rumah yang sangat berantakan. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalamnya.
Di luar aku bertemu seorang tetangga. “Akhirnya kau datang juga. Ibumu telah meninggal seminggu yang lalu,” ucapnya. Namun sedikit pun tak ada rasa sedih kurasakan. “Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu.”
Kubuka surat yang sudah kucal itu.
“Untuk anakku yang sangat Ibu cintai, Ibu tahu kau sangat membenci ibu. Tapi Ibu senang waktu mendengar kabar bahwa akan ada reuni.
Ibu berharap bisa melihatmu sekali lagi, karena Ibu yakin kau akan datang ke reuni itu. Sejujurnya ibu sangat merindukanmu. Setiap malam Ibu hanya bisa menangis sambil memandangi fotomu satu-satunya yang ibu punya. Ibu tak pernah lupa mendoakan kebahagiaanmu, agar kau bisa sukses dan melihat dunia luas.
Asal kau tau saja, anakku tersayang, sejujurnya mata yang kau pakai untuk melihat dunia luas itu salah satunya adalah mata Ibu yang selalu membuatmu malu. Mata yang Ibu berikan padamu waktu kau kecil. Waktu itu kau dan ayahmu mengalami kecelakaan hebat, ayahmu meninggal, sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Ibu tak tega anak tersayang ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka Ibu berikan satu mata untukmu.
Sekarang Ibu bangga karena kau bisa meraih apa yang kau cita-citakan. Dan Ibu pun sangat bahagia bisa melihat dunia luas dengan mata yang Ibu berikan. Saat menulis surat ini, Ibu masih berharap bisa melihatmu untuk yang terakhir kali, Tapi Ibu rasa itu tidak mungkin, karena Ibu yakin maut sudah di depan mata.
Peluk cium dari ibumu tercinta
Petir seolah menghantam kepalaku. Aku terdiam kaku. Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan ibu, tetapi diriku sendiri …
(Dinukil dari kisah nyata yang pernah dimuat Majalah “Ibu dan Anak”)
Ibu berharap bisa melihatmu sekali lagi, karena Ibu yakin kau akan datang ke reuni itu. Sejujurnya ibu sangat merindukanmu. Setiap malam Ibu hanya bisa menangis sambil memandangi fotomu satu-satunya yang ibu punya. Ibu tak pernah lupa mendoakan kebahagiaanmu, agar kau bisa sukses dan melihat dunia luas.
Asal kau tau saja, anakku tersayang, sejujurnya mata yang kau pakai untuk melihat dunia luas itu salah satunya adalah mata Ibu yang selalu membuatmu malu. Mata yang Ibu berikan padamu waktu kau kecil. Waktu itu kau dan ayahmu mengalami kecelakaan hebat, ayahmu meninggal, sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Ibu tak tega anak tersayang ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka Ibu berikan satu mata untukmu.
Sekarang Ibu bangga karena kau bisa meraih apa yang kau cita-citakan. Dan Ibu pun sangat bahagia bisa melihat dunia luas dengan mata yang Ibu berikan. Saat menulis surat ini, Ibu masih berharap bisa melihatmu untuk yang terakhir kali, Tapi Ibu rasa itu tidak mungkin, karena Ibu yakin maut sudah di depan mata.
Peluk cium dari ibumu tercinta
Petir seolah menghantam kepalaku. Aku terdiam kaku. Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan ibu, tetapi diriku sendiri …
(Dinukil dari kisah nyata yang pernah dimuat Majalah “Ibu dan Anak”)
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.