Tatkala Suamiku Meminta Izin Menikah Lagi
Terasa dunia akan runtuh ketika kau meminta izin kepadaku untuk menikah lagi. Tetapi, semuanya telah diatur oleh Allah.
Membayangkan kau, suamiku tersayang, sedang membagi cinta, perhatian dan segala kesenangan duniawi dengan wanita lain, bukan hanya mendatangkan mual tapi juga cemburu dan sakit hati yang mungkin tak akan berkesudahan.
Akhirnya hari itupun datang saat aku harus mengatakan sebuah jawaban untukmu. Ya Allah, wanita mana yang ingin cintanya terbagi? Wanita mana yang kuat melihat perempuan bermesraan bersama suami yang sangat aku cintai? Ya Allah, bahkan jika kenyataan ini terbalik, dan dia berada pada posisiku, sanggupkah engkau wahai suamiku?
Imanku mengatakan aku bisa merelakanmu, namun kecemburuan dan perasaanku mengunci hatiku untuk tetap mengatakan tidak. Pernikahan kita adalah tentang kita, kau dan aku, sama sekali tidak tentang dia. Dan lalu bagaimana mungkin kau tega memasukkan dia kedalam kebahagiaan kita? Apakah selanjutnya kita akan bahagia, suamiku?
Sekali lagi, aku tidak bisa lepas dari kodratku sebagai wanita yang identik dengan kecemburuan. Namun sekuat tenaga aku mencoba tidak emosional. Meski tentu saja ini sangat sulit.
Namun, akhirnya Allah menyadarkanku. Bukankah menikah adalah ladang amal bagiku untuk menggapai surga? Walau sekali lagi, Demi Allah sangat sulit merelakan bagian dari diriku masih harus ku bagi dengan orang lain.
Sekejap kupalingkan egoku untuk menilai maduku. Bukankah situasi ini juga menjadi cobaan bukan hanya untuk aku dan suamiku, tapi terutama adalah baginya? Betapa risiko sosial akan datang kepadanya, cap jelek sebagai perebut suami orang akan dilekatkan kepadanya. Masya Allah, betapa aku juga mungkin tidak akan sanggup jika menjadi dia. Bukankah jodoh sudah digariskan Allah atas semua manusia. Dia pun tak pernah bisa memesan dari mana jodohnya akan datang. Namun ketika jodohnya adalah suamiku sendiri, lalu apakah aku harus menyalahkannya, yang berarti pula menyalahkan Allah sang Maha Pengatur?
Dari pada aku memperburuk keadaan ini dengan prasangka, lebih baik aku menguatkan hati untuk membantu menguatkan suamiku. Suamiku, seseorang yang telah bertahun-tahun menjadikan aku satu- satunya ratu di dalam hati dan rumahnya, memuliakanku dengan segenap cinta dan kasih sayang, dan orang yang paling mengerti dan mencintaiku. Pantaskah jika akhirnya aku menyebutnya pengkhianat? pantaskah aku menyebutnya orang yang tidak tahu terimakasih atas semua pengorbanan dan kasih sayangnya? Tidak! Sama sekali tidak. Bahkan aku tidak akan rela gelar itu disebutkan kepada suamiku, bahkan oleh diriku sendiri.
Sesuatu akan lebih berharga ketika hal itu telah atau akan meninggalkan kita. Semoga ketika kau telah bersamanya, akan ada penghargaan lebih atas kebersamaan kita. Dan aku pastikan kau tidak akan merasa ditinggalkan olehku, karena aku tahu bebanmu akan terasa lebih berat kedepannya, dan akan sangat sulit bagimu untuk memilih. Maka aku tak akan membawamu pada posisi memilih. Seperti yang disabdakan Rasul bahwa wanita sholihah adalah perhiasan terindah bagi suaminya. Dan Subhanallah, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekaranglah saatku untuk membuktikan padamu bahwa aku pantas menjadi perhiasan terindah yang pernah kau miliki, dan aku benar- benar menyayangimu.
Aku buka pikiran dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu akhirnya berbuah pikiran bahwa engkau bukanlah milikku yang abadi. Aku khawatir ketika cinta itu melekat erat di hatiku, justru kesenangan hidup itu akan menjadikanku mendua terhadap cinta kepada zat yang Maha Mencinta.
Ah, ternyata keikhlasan itu tidak selamanya menyakitkan. Menyakitkan hanya bagi mereka yang merelakan diri mereka sakit dan menyia-nyiakan perolehan pahala yang seharusnya bisa menjadi miliknya. Dan sebagai pribadi yang ingin lebih pintar, aku tentu tak akan melakukan hal itu. Ternyata Keikhlasan itu nikmat jika dalam menjalaninya hati condong kepada “cinta hanya kepada Allah”.
Ya Allah, semoga surgaMu akan menjadi seindah-indahnya tempat kembaliku kelak, dan semoga kau jadikan aku sangat lebih bahagia bersanding dengan suamiku di sana, dalam kehidupan yang abadi.
Subhanallah, iman menguatkanku, ikhlas melegakanku, dan Allah memang benar- benar menyejukkan hatiku, bahkan saat aku berada sendiri di sini, dan kau berada di sana wahai suamiku.
Setelah kesejukan itu memenuhi relung hatiku, untuk selanjutnya aku memohon maaf kepadamu wahai suamiku, bahwa karena cintaku kepada Allah telah mengalahkan cintaku kepadamu. Aku yakin kau bukanlah pribadi yang akan menjadikan Alquran sebagai tameng bagi nafsumu sendiri.
Kau dengan tekadmu yang ingin memuliakannya sebagaimana kau memuliakanku sebagai istrimu karena Allah, maka aku pun akan merelakanmu pula karena Allah.
Semoga kelegaan hatiku dan kemuliaan niatmu bukan sekadar omong kosong, namun akan menjadi bukti nyata pernyataan cinta kita yang hanya karena Allah. Dan kini, aku mempersembahkan wanita itu untukmu. Benar- benar sebuah akhir yang sangat melegakan bagi sebuah kecintaan yang hanya karena Allah ... (Ditulis oleh Syahidah, seorang perempuan tegar di sebuah sudut Kota Kendal)
Membayangkan kau, suamiku tersayang, sedang membagi cinta, perhatian dan segala kesenangan duniawi dengan wanita lain, bukan hanya mendatangkan mual tapi juga cemburu dan sakit hati yang mungkin tak akan berkesudahan.
Akhirnya hari itupun datang saat aku harus mengatakan sebuah jawaban untukmu. Ya Allah, wanita mana yang ingin cintanya terbagi? Wanita mana yang kuat melihat perempuan bermesraan bersama suami yang sangat aku cintai? Ya Allah, bahkan jika kenyataan ini terbalik, dan dia berada pada posisiku, sanggupkah engkau wahai suamiku?
Imanku mengatakan aku bisa merelakanmu, namun kecemburuan dan perasaanku mengunci hatiku untuk tetap mengatakan tidak. Pernikahan kita adalah tentang kita, kau dan aku, sama sekali tidak tentang dia. Dan lalu bagaimana mungkin kau tega memasukkan dia kedalam kebahagiaan kita? Apakah selanjutnya kita akan bahagia, suamiku?
Sekali lagi, aku tidak bisa lepas dari kodratku sebagai wanita yang identik dengan kecemburuan. Namun sekuat tenaga aku mencoba tidak emosional. Meski tentu saja ini sangat sulit.
Namun, akhirnya Allah menyadarkanku. Bukankah menikah adalah ladang amal bagiku untuk menggapai surga? Walau sekali lagi, Demi Allah sangat sulit merelakan bagian dari diriku masih harus ku bagi dengan orang lain.
Sekejap kupalingkan egoku untuk menilai maduku. Bukankah situasi ini juga menjadi cobaan bukan hanya untuk aku dan suamiku, tapi terutama adalah baginya? Betapa risiko sosial akan datang kepadanya, cap jelek sebagai perebut suami orang akan dilekatkan kepadanya. Masya Allah, betapa aku juga mungkin tidak akan sanggup jika menjadi dia. Bukankah jodoh sudah digariskan Allah atas semua manusia. Dia pun tak pernah bisa memesan dari mana jodohnya akan datang. Namun ketika jodohnya adalah suamiku sendiri, lalu apakah aku harus menyalahkannya, yang berarti pula menyalahkan Allah sang Maha Pengatur?
Dari pada aku memperburuk keadaan ini dengan prasangka, lebih baik aku menguatkan hati untuk membantu menguatkan suamiku. Suamiku, seseorang yang telah bertahun-tahun menjadikan aku satu- satunya ratu di dalam hati dan rumahnya, memuliakanku dengan segenap cinta dan kasih sayang, dan orang yang paling mengerti dan mencintaiku. Pantaskah jika akhirnya aku menyebutnya pengkhianat? pantaskah aku menyebutnya orang yang tidak tahu terimakasih atas semua pengorbanan dan kasih sayangnya? Tidak! Sama sekali tidak. Bahkan aku tidak akan rela gelar itu disebutkan kepada suamiku, bahkan oleh diriku sendiri.
Sesuatu akan lebih berharga ketika hal itu telah atau akan meninggalkan kita. Semoga ketika kau telah bersamanya, akan ada penghargaan lebih atas kebersamaan kita. Dan aku pastikan kau tidak akan merasa ditinggalkan olehku, karena aku tahu bebanmu akan terasa lebih berat kedepannya, dan akan sangat sulit bagimu untuk memilih. Maka aku tak akan membawamu pada posisi memilih. Seperti yang disabdakan Rasul bahwa wanita sholihah adalah perhiasan terindah bagi suaminya. Dan Subhanallah, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekaranglah saatku untuk membuktikan padamu bahwa aku pantas menjadi perhiasan terindah yang pernah kau miliki, dan aku benar- benar menyayangimu.
Aku buka pikiran dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu akhirnya berbuah pikiran bahwa engkau bukanlah milikku yang abadi. Aku khawatir ketika cinta itu melekat erat di hatiku, justru kesenangan hidup itu akan menjadikanku mendua terhadap cinta kepada zat yang Maha Mencinta.
Ah, ternyata keikhlasan itu tidak selamanya menyakitkan. Menyakitkan hanya bagi mereka yang merelakan diri mereka sakit dan menyia-nyiakan perolehan pahala yang seharusnya bisa menjadi miliknya. Dan sebagai pribadi yang ingin lebih pintar, aku tentu tak akan melakukan hal itu. Ternyata Keikhlasan itu nikmat jika dalam menjalaninya hati condong kepada “cinta hanya kepada Allah”.
Ya Allah, semoga surgaMu akan menjadi seindah-indahnya tempat kembaliku kelak, dan semoga kau jadikan aku sangat lebih bahagia bersanding dengan suamiku di sana, dalam kehidupan yang abadi.
Subhanallah, iman menguatkanku, ikhlas melegakanku, dan Allah memang benar- benar menyejukkan hatiku, bahkan saat aku berada sendiri di sini, dan kau berada di sana wahai suamiku.
Setelah kesejukan itu memenuhi relung hatiku, untuk selanjutnya aku memohon maaf kepadamu wahai suamiku, bahwa karena cintaku kepada Allah telah mengalahkan cintaku kepadamu. Aku yakin kau bukanlah pribadi yang akan menjadikan Alquran sebagai tameng bagi nafsumu sendiri.
Kau dengan tekadmu yang ingin memuliakannya sebagaimana kau memuliakanku sebagai istrimu karena Allah, maka aku pun akan merelakanmu pula karena Allah.
Semoga kelegaan hatiku dan kemuliaan niatmu bukan sekadar omong kosong, namun akan menjadi bukti nyata pernyataan cinta kita yang hanya karena Allah. Dan kini, aku mempersembahkan wanita itu untukmu. Benar- benar sebuah akhir yang sangat melegakan bagi sebuah kecintaan yang hanya karena Allah ... (Ditulis oleh Syahidah, seorang perempuan tegar di sebuah sudut Kota Kendal)
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.