Kisah Sedih Pencuci Piring
Siapa paling berbahagia dalam pesta pernikahan? Tentu kedua mempelai. Meski lelah mendera, namun mereka tetap tersenyum hingga tamu terakhir. Tapi, siapa paling bersedih dalam resepsi perkawinan?
Para tamu larut dalam kegembiraan. Bagi kerabat kedua mempelai, ini momentum silaturahmi, kalau perlu rapat keluarga besar digelar di sela-sela pesta. Sementara sahabat kedua mempelai menyulap resepsi menjadi reuni. Bagi mereka yang jarang menikmati makanan bergizi, inilah saatnya perbaikan gizi, bermodal amplop yang tertutup rapat, dengan uang yang belum tentu diselipkan dalam amplop tersebut.
Nyaris tak ada hadirin yang sedih di pesta itu. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang terlunta-lunta lantaran primadona kampungnya dipersunting pria lain.
Tapi apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta pernikahan? Banyak orang mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.
Beberapa orang akhirnya mendapati orang yang lebih bersedih di setiap pesta pernikahan, atau pesta sunatan. Orang-orang yang bersedih itu memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu.
Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.
Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang sedikit. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan. Itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa berkah untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.
Airmata mereka menetes setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan perih hati mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian dilempar ke tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.
Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.
Saya adalah satu dari sekian ribu orang yang teronggok di belakang gedung, dengan ‘profesi’ tukang cuci piring, dengan kesedihan yang selalu berulang saat memandangi sisa-sisa nasi, demi menghidupi tiga anak saya setelah tiga tahun ini menjanda … (Diceritakan oleh Mualamah dari Wonosalam, Demak, yang dituang ke tulisan oleh Abdul Mughis)
Para tamu larut dalam kegembiraan. Bagi kerabat kedua mempelai, ini momentum silaturahmi, kalau perlu rapat keluarga besar digelar di sela-sela pesta. Sementara sahabat kedua mempelai menyulap resepsi menjadi reuni. Bagi mereka yang jarang menikmati makanan bergizi, inilah saatnya perbaikan gizi, bermodal amplop yang tertutup rapat, dengan uang yang belum tentu diselipkan dalam amplop tersebut.
Nyaris tak ada hadirin yang sedih di pesta itu. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang terlunta-lunta lantaran primadona kampungnya dipersunting pria lain.
Tapi apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta pernikahan? Banyak orang mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.
Beberapa orang akhirnya mendapati orang yang lebih bersedih di setiap pesta pernikahan, atau pesta sunatan. Orang-orang yang bersedih itu memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu.
Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.
Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang sedikit. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan. Itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa berkah untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.
Airmata mereka menetes setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan perih hati mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian dilempar ke tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.
Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.
Saya adalah satu dari sekian ribu orang yang teronggok di belakang gedung, dengan ‘profesi’ tukang cuci piring, dengan kesedihan yang selalu berulang saat memandangi sisa-sisa nasi, demi menghidupi tiga anak saya setelah tiga tahun ini menjanda … (Diceritakan oleh Mualamah dari Wonosalam, Demak, yang dituang ke tulisan oleh Abdul Mughis)
Labels
Romantika
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.