Mengenang “Tragedi Mei”
Bubar tapi Pelopor
Mei setahun lalu, PSIS membuat gempar. Di tengah kompetisi, Tim Goyang Semarang mengumumkan pengundurandiri karena kolaps.
KRISIS keuangan yang terus mendera memaksa pengurus PSIS membubarkan tim seniornya. Mulai Selasa (5/5/2009), PSIS senior tak lagi bertarung di kompetisi Indonesia Super Liga.
“Mulai Selasa ini secara resmi PSIS senior kami bubarkan. Dengan demikian, secara otomatis kontrak pemain dan pelatih juga selesai hari ini,” kata Ketua Umum PSIS Sukawi Sutarip, saat itu.
Meski timnya dibubarkan, PSIS tetap melanjutkan kompetisi Liga Super hingga selesai. Tetapi yang berlaga bukan tim asuhan pelatih Bambang Nurdiansyah, melainkan PSIS U-21 asuhan pelatih Ashadi.
Pada musim itu, PSIS tinggal menyisakan tujuh pertandingan, yaitu empat kali kandang (melawan Persijap, Persija, Persik, dan Arema), serta tiga kali tandang (lawan Pelita Jaya, Persiba Balikpapan, dan PKT Bontang). Sukawi mengakui, pihaknya tak kuat lagi melanjutkan Liga Super karena tidak ada pemasukan dana bagi timnya. “Selama ini saja kami sudah menghabiskan dana Rp 6 miliar dan masih menanggung utang kepada pihak-pihak lain,” katanya. Untuk melanjutkan sisa pertandingan (Liga Super berakhir 13 Juni 2009), PSIS U-21 memerlukan dana sekitar Rp 1,5 miliar.
Sampai dengan pembubaran PSIS ini, Onambele Jules Basile dkk berada di dasar klasemen sementara dari 18 peserta. Dari 27 pertandingan, mereka mengumpulkan total 19 poin, hasil dari empat kali menang, tujuh kali seri, dan 16 kali kalah.
Dalam empat partai terakhirnya, PSIS tidak pernah menang. Mahesa Jenar kalah 0-4 dari Persipura, dibantai Persiwa 6-0, menyerah 0-2 dari Persib, dan kalah 0-1 dari Persela.
Gonjang Ganjing
Keputusan yang lahir dari PSIS itu adalah buah dari perjalanan gonjang ganjing sebuah klub di Liga “Top” Indonesia.
Meski PSIS menganulir keputusan tersebut dengan terus menjalani kompetisi musim 2008/2009, kejadian itu harus dicermati jika kelak PSIS promosi kembali ke Liga Super, namun ternyata mundur pula gara-gara kekurangan dana.
Untuk menghentikan peristiwa pahit serupa, mari coba kita cermati di mana letak kelemahan Liga Indonesia. Pertama-tama, BLI harus jelas dan tegas menerbitkan manual liga supaya kejadian ini tidak menjadi preseden buruk, misalnya bisa-bisa klub akan seenaknya mengambil keputusan mundur, apalagi dalam kasus PSIS, kompetisi mendekati akhir, karena krisis finansial.
Mungkin meledaknya PSIS karena peringkat yang tidak menguntungkan, juru kunci, bisa jadi berdasar perhitungan maju terus atau mundur, sama sulitnya.
Perjuangan PSIS saat itu akan bertambah berat karena juga harus menepis dugaan munculnya skor aneh. Bisa karena mengamankan tim papan bawah, atau sebaliknya melancarkan jalan tim berpeluang. Sangat bisa yang sudah aman di papan tengah memegang kendali.
Sepertinya BLI cukup menyadari akan aroma yang bisa dimunculkan oleh kesepakatan anti-fairplay yang bisa dilakukan oleh siapa saja dengan cara bisik bisik. Sebaiknya BLI mulai lebih serius dengan menempatkan pengamat di tiap kota, agar masih ada kehormatan pada nilai kompetisi kita.
Tak Perlu 18 Klub
Peringatan yang diberikan PSIS harus ditangkap dengan mata hati terbuka. Mungkin bila ‘bank garansi’ yang mewajibkan menyetor Rp 5 miliar dijalankan, situasi akan berbeda. Atau pola pikir yang diubah, seperti tidak perlu 18 klub di ISL tapi banyak yang nyaris kolaps. Bisa saja kurang dari itu, namun memiliki dana yang memadai, stadion mumpuni, dan nantinya akan mampu melahirkan kompetisi yang ketat sehingga arahnya jelas, kualitas!
Menyadari ISL adalah top level kompetisi, harusnya kemasannya bernilai entertain, bukan malah amburadul yang menurunkan nilai jual dan menghancurkan kepercayaan publik bola.
Pengertian ini juga harus ada di pola pikir pelaku-pelakunya yang klubnya beraksi di ISL, baik itu sikap, cara penampilan di luar dan dalam lapangan, statement-statement yang menjual (bukan yang mengeruhkan).
Waktunya sudah tiba untuk kita tidak sekadar hura-hura dengan kompetisi yang arahnya tidak jelas tapi menelan biaya amat luar biasa. Kita harus mencari cara meningkatkan kualitas klub agar sejarah menjadi bulan-bulanan di ajang Liga Champion Asia tidak terus terulang.
“Langkah pertama, tetaplah berpijak pada aturan-aturan standar AFC/FIFA yang menjadi acuan negara lain, dan jangan bikin aturan di dalam aturan yang hasilnya akan membingungkan,” kata almarhum Sutjipto Suntoro dalam sebuah diskusi sepakbola di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bila situasinya masih amburadul, ada baiknya menuruti apa kata Hanafing: “Sebaiknya PSIS bertarung saja di divisi utama untuk menggodok pemain-pemain yunior guna membidik Liga Super di musim berikutnya.” (arief rahman - harian semarang)
“Mulai Selasa ini secara resmi PSIS senior kami bubarkan. Dengan demikian, secara otomatis kontrak pemain dan pelatih juga selesai hari ini,” kata Ketua Umum PSIS Sukawi Sutarip, saat itu.
Meski timnya dibubarkan, PSIS tetap melanjutkan kompetisi Liga Super hingga selesai. Tetapi yang berlaga bukan tim asuhan pelatih Bambang Nurdiansyah, melainkan PSIS U-21 asuhan pelatih Ashadi.
Pada musim itu, PSIS tinggal menyisakan tujuh pertandingan, yaitu empat kali kandang (melawan Persijap, Persija, Persik, dan Arema), serta tiga kali tandang (lawan Pelita Jaya, Persiba Balikpapan, dan PKT Bontang). Sukawi mengakui, pihaknya tak kuat lagi melanjutkan Liga Super karena tidak ada pemasukan dana bagi timnya. “Selama ini saja kami sudah menghabiskan dana Rp 6 miliar dan masih menanggung utang kepada pihak-pihak lain,” katanya. Untuk melanjutkan sisa pertandingan (Liga Super berakhir 13 Juni 2009), PSIS U-21 memerlukan dana sekitar Rp 1,5 miliar.
Sampai dengan pembubaran PSIS ini, Onambele Jules Basile dkk berada di dasar klasemen sementara dari 18 peserta. Dari 27 pertandingan, mereka mengumpulkan total 19 poin, hasil dari empat kali menang, tujuh kali seri, dan 16 kali kalah.
Dalam empat partai terakhirnya, PSIS tidak pernah menang. Mahesa Jenar kalah 0-4 dari Persipura, dibantai Persiwa 6-0, menyerah 0-2 dari Persib, dan kalah 0-1 dari Persela.
Gonjang Ganjing
Keputusan yang lahir dari PSIS itu adalah buah dari perjalanan gonjang ganjing sebuah klub di Liga “Top” Indonesia.
Meski PSIS menganulir keputusan tersebut dengan terus menjalani kompetisi musim 2008/2009, kejadian itu harus dicermati jika kelak PSIS promosi kembali ke Liga Super, namun ternyata mundur pula gara-gara kekurangan dana.
Untuk menghentikan peristiwa pahit serupa, mari coba kita cermati di mana letak kelemahan Liga Indonesia. Pertama-tama, BLI harus jelas dan tegas menerbitkan manual liga supaya kejadian ini tidak menjadi preseden buruk, misalnya bisa-bisa klub akan seenaknya mengambil keputusan mundur, apalagi dalam kasus PSIS, kompetisi mendekati akhir, karena krisis finansial.
Mungkin meledaknya PSIS karena peringkat yang tidak menguntungkan, juru kunci, bisa jadi berdasar perhitungan maju terus atau mundur, sama sulitnya.
Perjuangan PSIS saat itu akan bertambah berat karena juga harus menepis dugaan munculnya skor aneh. Bisa karena mengamankan tim papan bawah, atau sebaliknya melancarkan jalan tim berpeluang. Sangat bisa yang sudah aman di papan tengah memegang kendali.
Sepertinya BLI cukup menyadari akan aroma yang bisa dimunculkan oleh kesepakatan anti-fairplay yang bisa dilakukan oleh siapa saja dengan cara bisik bisik. Sebaiknya BLI mulai lebih serius dengan menempatkan pengamat di tiap kota, agar masih ada kehormatan pada nilai kompetisi kita.
Tak Perlu 18 Klub
Peringatan yang diberikan PSIS harus ditangkap dengan mata hati terbuka. Mungkin bila ‘bank garansi’ yang mewajibkan menyetor Rp 5 miliar dijalankan, situasi akan berbeda. Atau pola pikir yang diubah, seperti tidak perlu 18 klub di ISL tapi banyak yang nyaris kolaps. Bisa saja kurang dari itu, namun memiliki dana yang memadai, stadion mumpuni, dan nantinya akan mampu melahirkan kompetisi yang ketat sehingga arahnya jelas, kualitas!
Menyadari ISL adalah top level kompetisi, harusnya kemasannya bernilai entertain, bukan malah amburadul yang menurunkan nilai jual dan menghancurkan kepercayaan publik bola.
Pengertian ini juga harus ada di pola pikir pelaku-pelakunya yang klubnya beraksi di ISL, baik itu sikap, cara penampilan di luar dan dalam lapangan, statement-statement yang menjual (bukan yang mengeruhkan).
Waktunya sudah tiba untuk kita tidak sekadar hura-hura dengan kompetisi yang arahnya tidak jelas tapi menelan biaya amat luar biasa. Kita harus mencari cara meningkatkan kualitas klub agar sejarah menjadi bulan-bulanan di ajang Liga Champion Asia tidak terus terulang.
“Langkah pertama, tetaplah berpijak pada aturan-aturan standar AFC/FIFA yang menjadi acuan negara lain, dan jangan bikin aturan di dalam aturan yang hasilnya akan membingungkan,” kata almarhum Sutjipto Suntoro dalam sebuah diskusi sepakbola di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bila situasinya masih amburadul, ada baiknya menuruti apa kata Hanafing: “Sebaiknya PSIS bertarung saja di divisi utama untuk menggodok pemain-pemain yunior guna membidik Liga Super di musim berikutnya.” (arief rahman - harian semarang)
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.