Puasa dan Toleransi Bekerja
Oleh Dr Abu Rokhmad
Pengajar IAIN Walisongo Semarang
SETIAP bulan Ramadan datang, muncul ironi yang tak pernah hilang dan pertentangan kepentingan yang sulit disatukan. Umat Islam menyambut gembira kehadiran bulan suci ini yang di dalamnya terdapat perintah untuk berpuasa selama sebulan penuh. Berpuasa yang diakhiri dengan perayaan Lebaran menggairahkan ekonomi masyarakat. Kebutuhan dan konsumsi orang yang berpuasa meningkat tajam. Pengusaha berbagai komoditas dan jasa bersorak karena dagangannya laku keras. Bulan puasa menjadi berkah bagi siapa saja, baik bagi yang seagama maupun yang berbeda keyakinannya.
Betulkah demikian? Ternyata tidak semua orang merasakan nikmat bulan puasa. Pengusaha dan pekerja tempat hiburan atau pekerja seks komersial (PSK) adalah contohnya. Mereka ‘’menangis’’ setiap kali Ramadan tiba. Kondisi mereka serbasalah. Tetap menghibur dikira tidak menghormati bulan puasa. Tempat usaha ditutup selama bulan Ramadan juga tidak mungkin, sebab asap dapur pengusaha dan pekerja harus tetap mengepul. Beribadah dan bekerja seharusnya dapat berjalan seiring.
Umat Islam menuntut agar Ramadan tidak dikotori aneka hiburan yang tidak perlu. Pada sisi lain, pengusaha berkeberatan bila penghormatan terhadap pelaksanaan ibadah suatu agama harus diwujudkan dalam bentuk penutupan usaha. Usaha yang berhenti sama artinya dengan kebutuhan seharihari tak dapat dipenuhi. Padahal bekerja dan berpuasa sama-sama wajib dilakukan bagi umat Islam.
Yang memprihatinkan, kelompok Islam tertentu bahkan berani merazia dan mengobrak-abrik tempat-tempat hiburan. Seolah Ramadan hanya milik orang-orang sholeh dan tak menyisakan tempat bagi mereka yang bekerja di dunia hiburan. Ramadan bukan lagi bulan berkah bagi semua orang. Padahal tidak sedikit pengusaha dan pekerja sangat mengharapkan kelanjutan usahanya. Di tempat seperti ini, mereka berjuang menyambung hidup.
Toleransi dan penghormatan terhadap suatu agama atau keyakinan masih menjadi barang mahal di masyarakat. Masih banyak yang (sengaja) lupa bahwa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan suku, agama, dan keyakinan. Pendiri negeri ini (the founding fathers) telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Indonesia bukan Negara sekuler atau negara agama. Dimensi sekuler dan agama masing- masing diberi porsi dan tempat di negeri ini.
Pemerintah menjamin kebebasan umat beragama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Atas dasar ini, masyarakat semestinya paham bahwa pelaksanaan suatu ibadah agama tertentu sebisa mung kin tidak menganggu siklus kehidup an masyarakat lain yang agama dan kepentingannya berbeda. Atas dasar perbedaan inilah, Indonesia masih berdiri tegak hingga hari ini. Kebebasan untuk menjalankan atau tidak menjalankan (karena agamanya memang tidak memerintahkan) ajaran agama tidak dipertentangkan sedemikian rupa.
Masyarakat yang paling primitive sekalipun telah memiliki mekanisme tersendiri untuk menghormati agama dan keyakinan orang lain. Mereka mengembangkan caracara tertentu untuk menghindari pertumpahan darah di antara sesama. Jangan heran bila tidak semua suku berperang selamanya dengan seteru. Ada ’genjatan senjata’ yang mengharuskan mereka harus menahan diri dan tidak merusak kesepakatan damai. Umat yang tidak seagama pun sudah pasti memiliki kearifan untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa.
Umat Islam selalu gamang menyikapi maraknya tempat-tempat maksiat seperti hiburan malam, PSK, dan lain-lain, apalagi di saat bulan suci ini hadir. Tokoh-tokoh agama yang menganjurkan agar tempat-tempat hiburan ditutup selama bulan Ramadan, tidak pernah memikirkan solusi terbaik bagi pekerja-yang nota bene juga beragama Islam—yang menggantungkan hidupnya di tempat tersebut. Andai ada tawaran bekerja di tempat lain yang lebih terhormat dan menjanjikan masa depannya, tentu akan disambut dengan gembira. Kenyataannya lapangan kerja makin sempit dan tidak menyisakan banyak pilihan. Dapat bekerja dengan gaji yang kecil sekalipun jauh lebih baik ketimbang menganggur.
Jika menggunakan logika agama, penutupan tempat-tempat hiburan memang harus dilakukan. Segala bentuk kemunkaran harus diberantas dan jangan diberikan tempat untuk hidup di tengah umat beragama. Namun, pendekatan agama saja ternyata tak cukup mampu menyelesaikan masalah ini. Orang-orang Islam yang terpaksa bekerja di tempat hiburan menjadi khawatir bakal tidak dapat merayakan Idul Fitri. Mereka tidak memiliki bekal berlebaran karena selama sebulan penuh, selain melaksanakan puasa sebagaimana umat Islam lainnya, ia juga harus dirumahkan akibat anjuran lembaga-lembaga agama itu.
Keadaan ini perlu dipikirkan pemecahannya, yang aman menurut agama maupun secara kemanusiaan. Menutup tempat-tempat hiburan malam, lokalisasi dan tempat maksiat lainnya selama bulan puasa adalah anjuran yang kurang bijak selama tidak ada solusi yang tepat. Lepas dari madharat atau efek negatif dunia hiburan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana nasib orang-orang yang bekerja di tempat tersebut dan keluarganya? Bagaimana dengan hak orang lain yang beda agama yang butuh tempat- tempat hiburan seperti itu?
Selama bulan puasa biasanya banyak spanduk yang dipasang dan berisi anjuran untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa. Anjuran ini baik dan memang seharusnya demikian. Namun di sisi lain, perlu juga dipasang spanduk di dalam hati masing- masing orang yang berpuasa agar menghormati orang yang tidak berpuasa. Inilah wujud toleransi tertinggi berdasarkan sikap saling menghormati antarsesama.
Umat Islam dituntut kearifannya saat menjalankan ibadah puasa. Berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda agama dan kepentingannya perlu dihargai atas dasar saling menghormati. Yang beribadah dan bekerja tetap berlangsung seperti biasa dan tidak perlu saling melukai. Biarkan para pengusaha dan pekerja tempat hiburan merumuskan sendiri cara menghormati orang lain yang sedang berpuasa. Orang yang sedang puasa juga perlu merumuskan sikap bagaimana menghormati orang yang tidak berpuasa. Inilah inti pengendalian diri dan toleransi yang diajarkan oleh Ramadan. ***
SETIAP bulan Ramadan datang, muncul ironi yang tak pernah hilang dan pertentangan kepentingan yang sulit disatukan. Umat Islam menyambut gembira kehadiran bulan suci ini yang di dalamnya terdapat perintah untuk berpuasa selama sebulan penuh. Berpuasa yang diakhiri dengan perayaan Lebaran menggairahkan ekonomi masyarakat. Kebutuhan dan konsumsi orang yang berpuasa meningkat tajam. Pengusaha berbagai komoditas dan jasa bersorak karena dagangannya laku keras. Bulan puasa menjadi berkah bagi siapa saja, baik bagi yang seagama maupun yang berbeda keyakinannya.
Betulkah demikian? Ternyata tidak semua orang merasakan nikmat bulan puasa. Pengusaha dan pekerja tempat hiburan atau pekerja seks komersial (PSK) adalah contohnya. Mereka ‘’menangis’’ setiap kali Ramadan tiba. Kondisi mereka serbasalah. Tetap menghibur dikira tidak menghormati bulan puasa. Tempat usaha ditutup selama bulan Ramadan juga tidak mungkin, sebab asap dapur pengusaha dan pekerja harus tetap mengepul. Beribadah dan bekerja seharusnya dapat berjalan seiring.
Umat Islam menuntut agar Ramadan tidak dikotori aneka hiburan yang tidak perlu. Pada sisi lain, pengusaha berkeberatan bila penghormatan terhadap pelaksanaan ibadah suatu agama harus diwujudkan dalam bentuk penutupan usaha. Usaha yang berhenti sama artinya dengan kebutuhan seharihari tak dapat dipenuhi. Padahal bekerja dan berpuasa sama-sama wajib dilakukan bagi umat Islam.
Yang memprihatinkan, kelompok Islam tertentu bahkan berani merazia dan mengobrak-abrik tempat-tempat hiburan. Seolah Ramadan hanya milik orang-orang sholeh dan tak menyisakan tempat bagi mereka yang bekerja di dunia hiburan. Ramadan bukan lagi bulan berkah bagi semua orang. Padahal tidak sedikit pengusaha dan pekerja sangat mengharapkan kelanjutan usahanya. Di tempat seperti ini, mereka berjuang menyambung hidup.
Toleransi dan penghormatan terhadap suatu agama atau keyakinan masih menjadi barang mahal di masyarakat. Masih banyak yang (sengaja) lupa bahwa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan suku, agama, dan keyakinan. Pendiri negeri ini (the founding fathers) telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Indonesia bukan Negara sekuler atau negara agama. Dimensi sekuler dan agama masing- masing diberi porsi dan tempat di negeri ini.
Pemerintah menjamin kebebasan umat beragama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Atas dasar ini, masyarakat semestinya paham bahwa pelaksanaan suatu ibadah agama tertentu sebisa mung kin tidak menganggu siklus kehidup an masyarakat lain yang agama dan kepentingannya berbeda. Atas dasar perbedaan inilah, Indonesia masih berdiri tegak hingga hari ini. Kebebasan untuk menjalankan atau tidak menjalankan (karena agamanya memang tidak memerintahkan) ajaran agama tidak dipertentangkan sedemikian rupa.
Masyarakat yang paling primitive sekalipun telah memiliki mekanisme tersendiri untuk menghormati agama dan keyakinan orang lain. Mereka mengembangkan caracara tertentu untuk menghindari pertumpahan darah di antara sesama. Jangan heran bila tidak semua suku berperang selamanya dengan seteru. Ada ’genjatan senjata’ yang mengharuskan mereka harus menahan diri dan tidak merusak kesepakatan damai. Umat yang tidak seagama pun sudah pasti memiliki kearifan untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa.
Umat Islam selalu gamang menyikapi maraknya tempat-tempat maksiat seperti hiburan malam, PSK, dan lain-lain, apalagi di saat bulan suci ini hadir. Tokoh-tokoh agama yang menganjurkan agar tempat-tempat hiburan ditutup selama bulan Ramadan, tidak pernah memikirkan solusi terbaik bagi pekerja-yang nota bene juga beragama Islam—yang menggantungkan hidupnya di tempat tersebut. Andai ada tawaran bekerja di tempat lain yang lebih terhormat dan menjanjikan masa depannya, tentu akan disambut dengan gembira. Kenyataannya lapangan kerja makin sempit dan tidak menyisakan banyak pilihan. Dapat bekerja dengan gaji yang kecil sekalipun jauh lebih baik ketimbang menganggur.
Jika menggunakan logika agama, penutupan tempat-tempat hiburan memang harus dilakukan. Segala bentuk kemunkaran harus diberantas dan jangan diberikan tempat untuk hidup di tengah umat beragama. Namun, pendekatan agama saja ternyata tak cukup mampu menyelesaikan masalah ini. Orang-orang Islam yang terpaksa bekerja di tempat hiburan menjadi khawatir bakal tidak dapat merayakan Idul Fitri. Mereka tidak memiliki bekal berlebaran karena selama sebulan penuh, selain melaksanakan puasa sebagaimana umat Islam lainnya, ia juga harus dirumahkan akibat anjuran lembaga-lembaga agama itu.
Keadaan ini perlu dipikirkan pemecahannya, yang aman menurut agama maupun secara kemanusiaan. Menutup tempat-tempat hiburan malam, lokalisasi dan tempat maksiat lainnya selama bulan puasa adalah anjuran yang kurang bijak selama tidak ada solusi yang tepat. Lepas dari madharat atau efek negatif dunia hiburan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana nasib orang-orang yang bekerja di tempat tersebut dan keluarganya? Bagaimana dengan hak orang lain yang beda agama yang butuh tempat- tempat hiburan seperti itu?
Selama bulan puasa biasanya banyak spanduk yang dipasang dan berisi anjuran untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa. Anjuran ini baik dan memang seharusnya demikian. Namun di sisi lain, perlu juga dipasang spanduk di dalam hati masing- masing orang yang berpuasa agar menghormati orang yang tidak berpuasa. Inilah wujud toleransi tertinggi berdasarkan sikap saling menghormati antarsesama.
Umat Islam dituntut kearifannya saat menjalankan ibadah puasa. Berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda agama dan kepentingannya perlu dihargai atas dasar saling menghormati. Yang beribadah dan bekerja tetap berlangsung seperti biasa dan tidak perlu saling melukai. Biarkan para pengusaha dan pekerja tempat hiburan merumuskan sendiri cara menghormati orang lain yang sedang berpuasa. Orang yang sedang puasa juga perlu merumuskan sikap bagaimana menghormati orang yang tidak berpuasa. Inilah inti pengendalian diri dan toleransi yang diajarkan oleh Ramadan. ***
Post A Comment
No comments :
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.